Part 5

39 3 0
                                    


Manusia adalah mahluk sombong yang lemah.

Mereka menyembunyikan sisi lemah mereka dengan topeng kesombongan.

Mereka berlari dari rasa takut, menuju cangkang kegagahan semu.

Atau, mereka mengintimidasi objek yang lebih lemah dari mereka agar mereka merasa kuat.

***

Radit : "Bisa kita kumpul?"

Dio : "Oke, ada apa lagi dengan kakakku?"

Dian : "Oke, kebetulan lagi butuh refreshing nih"

Radit : "Di Korean Corner ya, jam 4 sore bisa?"

Dio : "Dokter Yang yang traktir"

Dian : "Dasar bocah tua nakal, kau tak tahu malu ya?"

Dio : "Wlee..sendirinya padahal pengen ditraktir juga"

Dion : "Awas kau ya!"

End chat.

Rani memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Ia turun lalu menghampiri gadis yang ia lihat beberapa hari yang lalu.

"Kau baik-baik saja?" tanya Rani, mengagetkan si gadis. Gadis itu tampak ingin menangis.

"Kita minum dulu yuk?" ajak Rani dengan lembut. Gadis itu mengiyakan. Rani merangkul gadis itu, mencoba membuatnya merasa aman. Ia mengajak gadis itu masuk mobil lalu mencari tempat makan terdekat.

Sampai di jalan yang agak sepi Rani memarkirkan mobilnya di dekat gerobak Siomay yang mangkal di pinggir jalan. Ia memesan dua porsi beserta teh botol dingin.

"Siapa namamu?" tanya Rani setelah gadis itu minum beberapa teguk dan mulai tampak tenang.

"Kesha"

"Aku Rani. Beberapa hari yang lalu aku melihatmu di bawah papan reklame yang sama"

Kesha mengangguk.

"Kau sedang ada masalah?" tanya Rani.

"Aku, aku sedang mencari pekerjaan dan tempat tinggal. Aku diusir dari rumah" katanya.

"Apa? Kau diusir? Bukankah kau masih SMA?"

Kesha mengangguk lagi. Rani tampak berpikir. "Begini, kita ke tempatku dulu untuk sementara, oke?" Kesha mengangguk lagi.

***

Radit, Dian dan Dio sudah berkumpul di satu meja.

"Kau sudah pindah ke rumah kakakmu?" tanya dokter Yang.

"Belum. Aku baru membahas soal itu tadi malam dengan ayah dan ibu. Mereka setuju, tapi aku belum bilang ke kak Rani"

"Kau harus pindah secepatnya"

"Kenapa? Apa ada hal yang mengkhawatirkan?" tanya Dian dan Dio kompak.

Radit tampak berpikir. Menimbang apakah bijak menyampaikan ini pada Dio dan Dian. "Kalian tahu kan saat ini aku sedang menjalankan rencana untuk mengobati phobianya pada kuku panjang?"

"Hmm" mereka mengangguk.

"Kemarin saat aku datang untuk meminta dipotong kuku, aku rasa aku melihat lengannya dibalut perban"

Dian dan Dio tampak kaget, mereka saling pandang.

"Aku tidak tahu apakah itu luka atau apa? Dan jika itu luka, apakah luka disengaja atau tidak? aku belum memastikan semua itu. Aku belum menemukan cara untuk memaksanya membuka semuanya. Aku..." dokter Yang menarik napas, "Aku juga bingung dan tak tahu harus bagaimana."

"Dok, apa kakakku harus dirawat?" tanya Dio khawatir. "Apa dia benar-benar sakit?" matanya mulai berkaca. Dian mengelus-elus punggung pemuda itu. "Tolong, kenapa kakaku sepeti ini, dok? Kenapa dia jadi begini?" Dio buru-buru menyeka air mata sebelum meluncur ke pipinya.

Radit menghela nafas. "Untuk mengetahui hal itu dengan pasti, dia harus mengikuti serangkaian tes, kita berharap saja masalahnya tidak seberat yang kita kira"

"Apa dokter punya rencana?" tanya Dian. "Kami akan membantu semaksimal mungkin jika itu untuk kesembuhan Rani"

"Untuk sementara ini aku sedang berusaha membuatnya menjalani terapi phobia kuku panjangnya. Langkah berikutnya aku ingin menggali informasi berkaitan dengan sosok tambun yang membuatnya merasa terancam. Jika itu positif, mungkin dia juga harus menjalani terapi untuk mengatasi masalah itu. Kalau hasil diagnosa menunjukkan dia butuh pengobatan medis, maka kita harus memberinya pengobatan medis."

"Masalahnya_" lanjut dokter Yang "Dia tidak mau menjadi pasienku ataupun pasien dokter lain. Dia tidak merasa butuh bantuan"

"Itu terdengar mengkhawatirkan" kata Dian.

"Ya. Mungkin aku harus menggunakan sedikit kekerasan untuk membuatnya menyadari bahwa dia butuh bantuan"

"Kekerasan seperti apa?" tanya Dio, hawatir.

"Misal seperti, aku memaksanya untuk menunjukkan apa yang dia sembunyikan di balik perban di lengannya"

Dian dan Dio mengangguk mengerti.

***

Ibu menekan nomor Rani untuk kesekian kali, tak juga diangkat. Ia mengirim pesan pada Dio menanyakan putri sulungnya.

"Mungkin kak Rani sedang melayani pembeli, bu. Nanti bentar lagi Dio ke tempat kak Rani" pesan balasan Dio padanya.

"Apa menurutmu tidak apa-apa kalau ibu temui kakakmu?" tanya ibu di pesannya.

"Gak usah, nanti Dio yang kabarin ibu"

***

"Ada apa?" tanya dokter Yang saat Dio menatap ponselnya dengan wajah serius.

"Sepertinya ibu merasakan firasat yang kurang baik tentang kak Rani. Ibu ingin menemui kak Rani"

"Lalu?" tanya dokter Yang. Dian ikut menunggu jawaban.

"Aku tidak bisa membiarkan mereka bertemu, setidaknya untuk saat ini. Ibu pasti akan sangat khawatir dan sulit ditenangkan jika tahu keadaan kak Rani saat ini"

Radit dan Dian mengangguk faham.

"Hubungan mereka tidak baik, bertemu ibu saat ini hanya akan memperburuk emosi kak Rani"Â tambah Dio dalam hati.

***

Rani mempersilahkan Kesha duduk di sofa depan. Seharusnya dia sudah pulang saat ini, tapi Dian dan Dio harus tahu tentang Kesha. Dia tidak bisa memutuskan sendiri apakah membiarkan anak itu bekerja di tokonya atau membantunya kembali ke rumahnya. Sambil menunggu Dian dan Dio datang, Rani mengajak Kesha bicara.

"Maaf, kalau boleh tahu, kenapa orang tuamu mengusirmu?" tanya Rani sambil menyodorkan segelas teh hangat.

"Aku tinggal bersama paman dan bibiku sejak kecil. Orang tuaku, aku tidak tahu dimana mereka" Kesha menyeruput teh hangat itu.

"Apa paman dan bibimu sering memarahimu?"

"Itu_"

"Assalaamu'alaikum" Dian dan Dio muncul bersamaan.

"Waalaikumsalam. Hei, kalian datang. Kita perlu bicara"

***

Mereka bertiga berkumpul di gudang membicarakan apa yang sebaiknya mereka lakukan dengan Kesha.

"Aku tidak bisa memutuskan sendiri karena ini berkaitan dengan kalian juga"

"Dia tidak tampak seperti diusir" kata Dio sambil mengintip Kesha, "Dia sepertinya kabur, dia hanya membawa pakaian yang dia pakai"

Dian dan Rani saling pandang, mereka menarik napas dalam.

"Kalau benar begitu, berarti ada alasan kenapa dia kabur. Yuk tanya anaknya langsung?" kata Dian. Rani dan Dio setuju



NAIL CUTTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang