Apa kau akan menyambut uluran sayap malaikat yang ingin menolongmu ketika tanganmu harus terluka saat meraih sayap itu?
Kita tak pernah menyadari, entah berapa ratus kali Tuhan mencoba bicara pada kita.
Kita terlalu sibuk menatap kaki yang berdarah, lalu lupa menatap langit yang mengulurkan bantuan.
***
Minggu pagi itu Radit sibuk bebenah di kliniknya. Kegiatan rutin akhir pekannya mengisi food bank di berbagai sudut kota terpaksa dia serahkan sepenuhnya pada asisten yang biasa membantu. Berkas-berkas lama dan baru sudah dipilah dan dipindahkan ke rak masing-masing. Benda-benda yang tidak perlu ia angkut dan simpan ke gudang. Debu-debu sudah disedot, furniture sudah dilap. Lantai sudah licin mengkilap. Ia sedang memeriksa seluruh ruangan, kalau-kalau ada sudut yang terlewat ia bersihkan. Terdengar pintu terbuka di belakang. Radit berbalik.
“Woah…lo rajin bener, sepagi ini udah bersih-bersih” kata pemuda berambut klimis di depannya.
“Pagi bener udah di sini? Gimana kabar lo?” Radit menepuk bahu sepupunya.
“Tadi malem gue nginep di rumah temen. Beberapa blok doang dari sini” Ben duduk di kursi seberang Radit.
“Oh”
“Akhir-akhir ini gue gak bisa tidur”
“Kenapa? Lagi ada pikiran berat?”
“Kebanyakan lembur kali. Gue mau minta lo resepin obat tidur”
“Oh, oke” setelah melakukan beberapa pemeriksaan dasar, Radit menuliskan resep obat, “Dosis ringan aja ya, dan usahakan cuma minum kalo lo lagi bener-bener gabisa tidur”
Pintu terbuka di balik punggung Ben. Setelah menyadari ada tamu lain selain dirinya, gadis itu buru-buru meminta maaf lalu menutup pintu lagi.“Siapa itu? Pasien lo? Cantik bener”
Radit menyerahkan kertas resep lalu berdiri mendekati lemari berkas untuk mencatat sesuatu di sana.
“Pasien lo?” tanya Ben lagi.“Iya” Radit masih mencatat.
“Boleh kenalan?”
“Enggak, dan tempat gue bukan biro jodoh” jawab Radit dengan wajah malas. Ben terbahak.
Seperginya Ben, yang diwanti-wanti Radit supaya tidak berbuat macam-macam untuk medekati pasien perempuannya yang manapun, lalu menanggapinya dengan tawa lepas.***
Rani masuk dan duduk di seberang Radit.
“Baiklah, keputusan yang tepat kau datang kesini. Ini hadiah dariku” Radit menyerahkan sebuah goodie bag kecil berwarna hijau pohon cemara.Rani meraih tas itu lalu melongok ke dalamnya, “Apa ini?”
“Buka saja” suruh Radit.
Rani mengulurkan tangan ke dalam goodie bag itu lalu mengeluarkan sesuatu. “Ini buku” kata Rani. Radit mengangguk.
“Aku akan membacanya kalau ada waktu luang” kata Rani sambil memasukkan buku itu kembali.Radit bangun menuju pantry untuk menyeduh teh chamomile. Ia kembali ke mejanya dan meletakkan cangkir itu di depan Rani.
“Hadiah itu aku berikan karena kau sudah tidak takut dengan kuku panjang lagi. Kau juga tidak muntah saat membersihkan kuku jempolku yang kotor” Radit tersenyum puas.
Rani menatapnya seolah melihat Radit meleleh. “Kau mengakaliku” katanya.“Buku itu bercerita tentang seorang perempuan yang phobia dengan sentuhan seorang pria karena pernah trauma, saat dia kecil ibunya pernah berselingkuh di depan matanya” jelas Radit, tak menghiraukan protes Rani.
“Aku bukan wanita di buku itu” protes Rani lagi.
“Memang. Aku hanya ingin kau memiliki perspektif berbeda tentang orang-orang yang memiliki ketakutan yang sama dengan dirimu”

KAMU SEDANG MEMBACA
NAIL CUTTER
De TodoKisah psikiater dan pasiennya yang seperti musuh bebuyutan. Seumur-umur Radit jadi psikiater, baru kali ini dia harus mengemis-ngemis pada pasiennya agar mau diobati. Pasien yang absurd dan sangat kurang ajar, satu-satunya pasien yang menyebut dirin...