Bagian 14

21 1 0
                                    

Hidup seperti semangkuk spageti, kau bisa menemukan kejutan berupa bakso di antara kerumitan spageti

***

Hidup seperti apa yang sebetulnya ku inginkan? Masa depan seperti apa yang ku impikan? Pasangan seperti apa yang ku dambakan? Terkadang aku memikirkan jawaban dari semua pertanyaan itu. Apa sebetulnya mauku? Apa yang membuatku bahagia? Aku memiliki jawabannya setiap kali aku bertanya pada diriku sendiri. Aku tahu apa yang membuatku bahagia, dan aku berusaha melakukannya. Aku tahu siapa saja yang mencintaiku dan aku berusaha agar tetap berada di tengah-tengah mereka. Aku tahu jawabannya, tapi kebahagiaan itu seperti genangan air dangkal, matahari mudah menguapkannya. Ia tak pernah menetap lama di hatiku.

Apa kau pernah menangis tanpa sebab? Hal itu sering ku alami. Apa kau pernah merasa sangat bingung dan menderita tanpa sebab? Benci pada diri sendiri? Marah entah pada siapa? Itu semua sering kualami, dan aku akan berakhir tenggelam dalam tangis berkepanjangan saat tak ada siapapun di sisiku. Aku tak bisa menangis saat ada mereka karena aku bahagia saat mereka di sisiku. Apa yang aku inginkan saat masa-masa itu tiba? Aku hanya ingin sebuah pelukan dan belaian di kepalaku, tapi aku tak bisa meminta pada siapapun. Aku bukan bayi, dan aku tak bisa meminta lebih dari apa yang telah mereka berikan padaku. Aku hanya butuh uluran tangan, aku tak ingin meminta lagi.

***

Radit mendorong pintu kaca di depannya, mengerutkan kening karena tak ada siapapun di dalam. Hari ini seharusnya Rani datang ke alun-alun kota, menemui seseorang bersamanya. Dia menunggu Rani sejak jam tujuh pagi, tapi sampai saat ini gadis itu tak datang juga. Terpaksa dia datang ke toko ini. Radit terus masuk dengan langkah hening, mencari-cari gadis berambut pendek bermata bulat itu. Terdengar isakan samar dari kamar mandi. Radit mendekat, dari celah pintu dia melihat Rani duduk di toilet dengan tubuh terlipat ke depan, menutup wajahnya dengan kedua tangannya, terisak. Perlahan ia mendorong pintu lalu memeluk gadis itu. Sesaat Rani berontak, saat melihat wajah yang dikenalinya, tangisnya pecah.

“Ssssshhhhhhhh……” Radit mengelus kepala Rani. Membiarkan gadis itu menangis di bahunya sampai puas. Rembesan air mata sudah menembus kaosnya, bahunya basah. Rani masih sesenggukan. Ia mengerti, fase itu sedang menghampiri Rani, dan malangnya, fase itu selalu datang saat ia sendirian, tak ada seorangpun yang bisa memberinya pelukan dan penguatan.

Radit menyerahkan secangkir besar coklat hangat ke depan Rani saat Rani sudah mulai tenang. Radit duduk di samping Rani, mengamati perkembangan emosi gadis itu. Masih tampak jejak-jejak tangis di wajahnya.

“Maafkan aku” katanya. “Aku tidak bermaksud_”

“Tidak masalah” kata Radit. “Sebelum hubungan kita sebagai dokter dan pasien, kita berteman lebih dulu”

“Aku tidak mau merepotkanmu” kata Rani.

“Aku tidak merasa direpotkan. Kau tidak memintaku datang, aku datang sendiri kesini dan memilih untuk melakukannya. Aku justru minta maaf karena memelukmu tanpa ijin. Aku rasa karena keadaan darurat jadi_”

“Jangan terlalu dipikirkan, aku tidak mempermasalahkannya”

“Jadi, tidak apa-apa aku menyentuhmu?” Radit memajukan tubuhnya untuk memeluk Rani saat sebuah pukulan mendarat di kepalanya. Radit meringis sambil mengusap-usap kepalanya.
“Dokter mesum” kata Rani lalu meneguk coklat. Radit tertawa. Dia lebih suka melihat Rani yang judesnya minta ampun daripada Rani yang menangis sendirian dan menderita dalam kesepian.

Setengah jam kemudian mereka duduk di alun-alun kota, memandang gemericik air dari pancuran tengah taman. “Kau ingin membicarakan sesuatu?” tanya Radit. Gadis itu sudah tenggelam dalam sunyi terlalu lama. Mata bulatnya tampak lelah dan menyedihkan. Radit sering berusaha menahan emosi saat menatap gadis menyedihkan ini.

NAIL CUTTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang