Bagian 12

27 2 0
                                    

Cinta menampilkan diri dengan berbagai wajah. Terkadang ia muncul dengan wajah tersenyum, waktu yang lain dia juga muncul dengan wajah menakutkan.

***

Rani mematut wajahnya di cermin. Wajah tirus pucat terbingkai hijab organdi berwarna putih tulang. Sepasang mata bulat cekung menatap lurus tanpa ekspresi. Tunik sewarna tanah dengan kulot berwarna hitam, membungkus tubuh kurusnya.
“Cangkang” kata sebuah suara di kepalanya.

“Cangkang yang cantik” gumamnya.

“Tapi munafik” ucap suara itu.

“Itu lo” suara Dian terngiang di kepalanya.

“Itu bukan lo. Lo cewek nista yang udah jadi sampah!” kata suara itu lagi.”Cewek nista yang munafik, mau bersembunyi di balik hijab agar tampil bak wanita suci”

“Itu tanda cinta Allah buat lo. Dia ingin lo terjaga, terlindungi dengan baik, hanya untuk lelaki yang baik” kata Dian lagi.

“Lo gak pantes dicintai Tuhan” kata suara itu.

“Coba lo lihat dari sudut pandang itu” kata Dian lagi, beberapa hari yang lalu. “Allah sayang sama lo. Sayang sama semua hamba-Nya. Dia ngirim gue, dokter Yang, dan Dio buat jagain lo. Coba lo lihat dari sisi itu. Kita semua cinta sama lo”

Rani menunggu suara itu bicara lagi, tapi sunyi. Ia berhenti mematut wajah lalu meraih tas di atas ranjang dan pergi untuk menemui Dian.

Awalnya tujuan Rani mengikuti kajian-kajian ilmu agama hanya untuk coba-coba, sekaligus menyenangkan Dian, sahabatnya. Gadis itu tidak akan berhenti menguliahinya tentang urgensi menuntut ilmu bagi eksistensi manusia di alam semesta. Janda kembang yang berisik itu akan terus mengoceh di sekitarnya bak lebah pembuat sarang, menyumbat telinganya dengan berbagai macam dalil dan fakta ilmiah tentang urgensi sebuah ilmu. Kadang Rani mengira Dian lupa bahwa mereka sama-sama lulusan strata 1 dan wisuda bersamanya.

“Gue bukan manusia primitif” kata Rani satu ketika saat dia sudah jenuh dengan ceramah sahabatnya itu.

“Gue gak bilang lo primitif”

“Tapi lo ngoceh selama dua jam ini cuma buat nguliahin gue tentang urgensinya menuntut ilmu. Lo wisuda bareng gue. Gue yang maju duluan buat dapet Ijazah sebelum lo”

“Dan lo kira, ijazah itu sebagai simbol finishnya belajar?”

“Gue gak mikir kaya gitu”

“Terus, kenapa lo gak mau ikut belajar ilmu agama bareng gue?”

“Gak ada alasan khusus”

“Pasti ada”

“Apa?”

“I don’t know!”

Rani menghela nafas lelah. “Gue gak bisa janji, tapi kalo gue gak repot, gue bakalan ikut kajian” kata Rani saat itu, mengakhiri perdebatan mereka.

Jujur saja, dia cuma mau Dian berhenti menguliahinya dan berpura-pura patuh. Seiring bertambahnya durasi waktu pengajian yang ia ikuti, dia menyadari ada banyak hal yang baru dia ketahui, dan dia menyadari bahwa dia merasakan antusiasme yang cukup tinggi, tumbuh di dalam dirinya.

Ada sisi lain yang perlahan tumbuh di dalam dirinya, perasaan dicintai. Jika ada yang bertanya, hal apa yang membuatnya merasa seperti itu? Dia sendiri tak bisa menjawabnya. Ketika berada di tengah orang-orang itu, ia merasakan atmosfir yang berbeda, seperti ada sesuatu yang begitu besar dan penuh kasih sayang, memeluknya penuh cinta. Sesuatu itu, dan perasaan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya, tak bisa ia definisikan.

NAIL CUTTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang