Dua hari sudah berlalu sejak terakhir kali aku bertemu Akmal. Tentu saja karena Sabtu dan Minggu libur, jadi kami tidak bertemu. Ada perasaan bersalah di hatiku mengingat kejadian Jumat lalu. Tidak seharusnya aku dan dia seakrab itu. Meskipun hanya sebatas teman, itu agak berlebihan. Dia punya pacar dan pacarnya juga bisa disebut temanku. Aku tidak mau menjadi PHO (Perusak Hubungan Orang).
Saat itu sedang pelajaran seni budaya. Beberapa kelompok tengah menampilkan serta menjelaskan isi makalah mereka. Kebetulan kelompokku tidak akan tampil hari ini, jadi tugas kami hanya memperhatikan materi yang disampaikan kelompok lain. Kelompok kami duduk di samping jendela dan aku duduk dengan Arya di kiriku dan Akmal di hadapanku. Tiba-tiba Akmal memanggil-manggil namaku.
"Ra, Ra, Ra, Ra."
"Hmm ya?"
"Liat deh liat," dia menunjukkan handphone-nya padaku. Aku melihat fotonya dengan Vira yang sedang makan es krim di sampingnya. Entah kenapa ada rasa kekecewaan di hatiku. Masa iya aku menyukai Akmal hanya karena sikap baiknya minggu lalu. Dia punya pacar Nara, sadar!
Setelah itu, dia sempat mengajakku mengobrol beberapa kali, tetapi aku terlalu malas untuk menanggapinya. Jadi, aku hanya menjawab seperlunya sampai Akmal berhenti mencari topik dan hanya ada diam di antara kami.
•••
Saat pelajaran agama, kami ditugaskan untuk menyalin hadis di papan tulis dan Akmal pindah duduk ke bangku di belakangku. Mungkin ia pindah karena tempat duduknya berada di pojok kanan dan terlalu jauh untuk melihat ke papan tulis—aku saja yang duduk di tengah kesulitan membaca tulisan di papan tulis yang kurang rapi.
Karena aku kesulitan melihat tulisan di papan, aku berniat untuk menyalin milik Alika dan ternyata Alika jauh lebih lambat dariku. Aku melihat tugas Akmal dan dia sudah selesai menyalinnya, ide bagus bukan untuk menyalin tugasnya.
"Akmal, minjem dong bukunya. Ga jelas di papan tulis mah," Akmal memberikan bukunya tanpa berucap apapun.
Aku baru saja mulai mengerjakan dan Akmal mulai memukul-mukul meja. Tentu saja itu membuat konsentrasiku buyar.
"Akmal bisa diem ga?" Akmal hanya menganggukan kepalanya dan menatapku sinis. Sejujurnya, aku sedikit takut melihat ekspresinya yang seperti itu karena dia jarang terlihat sinis atau kesal. Namun, aku mencoba mengabaikannya, aku melanjutkan pekerjaanku. Sepertinya aku benar-benar orang yang lambat dalam menulis, karena bel tanda berakhirnya pelajaran sudah berbunyi dan aku masih belum selesai.
"Eh nanti balikin ke sana ya," ucap Akmal, ia beranjak untuk kembali ke bangkunya.
"Ih jauh banget, di sini dulu aja."
"Estafet atuh, pake otak sedikitlah," ia mengarahkan telunjuknya pada pelipisnya, benar-benar kasar ucapannya. Keterlaluan.
"Biasa aja sih ngomongnya!" Ucapku tak mau kalah untuk membentaknya. Kesal sekali rasanya.
Setelah pelajaran agama selesai, aku membuka kerudungku karena telingaku sakit. Di sekolahku diwajibkan mengenakan kerudung pada hari Senin, Jumat, dan saat pelajaran agama. Kebetulan juga saat itu sudah waktunya salat zuhur dan aku akan berwudu untuk melaksanakan salat.
"Nanaonan muka tiung nanaonan (buat apa sih buka kerudung)," Akmal mengolok-olokku dengan cara bicaranya yang menyebalkan dan aku mengabaikannya untuk menahan emosiku.
•••
Saat pulang sekolah, Akmal menghampiriku ia bermaksud untuk mengajakku pulang bersama.
"Ga, aku mau kerja kelompok. Kamu duluan weh," ucapku tak peduli karena masih kesal padanya.
"Kalau mau tunggu di sini, aku ke Shila dulu," Shila itu teman se-SMP-ku dan Akmal. Aku cukup dekat dengannya, kadang kami mengobrol di sekolah atau chatting saat malam. Shila sempat di rawat di rumah sakit, ku kira dia belum masuk sekolah.
Akmal pergi keluar kelas, menghampiri Shila, pikirku. Aku hanya duduk dan melakukan hal-hal tak jelas. Setelah beberapa menit, aku memutuskan untuk keluar kelas. Aku bertemu dengan Riana dan menanyakan keberadaan Akmal padanya.
"Oh tadi udah pulang, ga tau sama siapa," ucapnya sembari menunjuk ke arah koridor menuju gerbang sekolah.
Aku sedikit kecewa, mungkin karena Akmal yang pulang duluan. Aku segera merapikan barang-barangku dan bersiap pulang. Ya, aku memutuskan untuk pulang duluan karena perasaanku yang tak karuan, aku kesal tapi tak berhak jadi ya sudahlah, lebih baik aku menenangkan pikiranku di rumah.
•••
Malam harinya, aku menanyakan tugas kepada Akmal dan dia hanya menjawab seperlunya. Aku gemas, aku ingin dia seperti biasa jadi aku mencoba membahas hal lain.
"Akmal ih, kamu ninggalin aku tadi. Kesel."
"Hayu besok bareng."
"Hayuuu."
Setelah aku menjawab pesannya, jantungku berdetak tak karuan lagi dan Akmal kembali menjadi Akmal yang biasa. Akmal yang berisik dan iseng, tetapi aku senang. Aku senang karena dia. Aku tau ini salah, tak seharusnya aku berperasaan seperti ini pada Akmal yang berstatus pacar orang lain. Tapi aku butuh Akmal, sebagai Akmalku. Aku butuh Akmal sebagai warna baruku. Akmal, aku butuh kamu.
Jangan lupa votenyaa yaaa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentangnya di 2015
Teen FictionIni tentangku, tentangnya, dan takdir yang sedang mempermainkan. Nara dan Akmal, si gadis bebal yang selalu gelisah dan buta soal cinta bertemu Akmal yang akan membuat Nara selalu tak karuan. Note : sayangnya ini bukan fiksi