Jumat, 4 September 2015

57 8 0
                                    

Seperti biasa, aku datang lebih awal karena aku suka menikmati suasana pagi yang sepi di sekolah dengan kegiatan favoritku kala itu, melamun. Aku sering termenung di kelas, sekedar diam dan menyesali hal-hal bodoh yang sudah kulakukan di masa lampau. Kebetulan hari ini adalah jadwal pengumpulan tugas seni budaya dan beruntungnya kelompokku sudah menyelesaikan semuanya, hanya tinggal di-print dan aku bisa melakukannya di perpustakaan sekolah lalu menjilidnya di sebelah sekolah. Tidak sia-sia usahaku, kemarin aku sampai harus pulang telat demi menyelesaikan tugas itu. Sebenarnya, aku sudah menyelesaikan bagianku di rumah, tapi berhubung yang lain belum selesai jadi aku menemani kelompokku yang terdiri dari Alika, Akmal, Arya, dan Tika mengerjakannya sebagai pembuktian rasa solidaritasku kepada mereka.

Terlalu terlarut dalam lamunanku aku baru menyadari bahwa kelasku sudah ramai, beberapa temanku sibuk mengerjakan tugasnya yang belum selesai. Beberapa orang bahkan tak sungkan untuk berteriak memanggil teman kelompoknya untuk mengerjakan bagiannya.

Dari tempat dudukku kulihat Akmal dan Arya sedang berkutat di depan laptop. Mungkin mereka sedang mengedit, pikirku. Aku menghampiri mereka untuk sekedar basa-basi dan ya ... memuaskan rasa penasaranku.

"Eh ini udah beres, kan?" Aku bertanya pada Akmal.

"Iyaa udah selesai kok, tinggal diedit dikit-dikit," Akmal menjawab pertanyaanku tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop, ia terus mengarahkan Arya untuk mengubah ini dan itu.

"Ya udah, aku ke sana lagi ya," ketimbang dicuekin lebih baik aku menghabiskan waktu dengan duduk di bangkuku dan menikmati angin sepoi-sepoi yang masuk lewat jendela di sampingku.

Lamunanku yang ditemani angin pagi dibuyarkan oleh teriakan Akmal yang memanggil-manggil namaku.

"Nara, ayo nge-print!" Aku setengah berlari menghampiri Akmal dan menghindari beberapa orang di tengah hiruk pikuk kelas kala itu.

Aku dan Akmal berjalan menyusuri lorong belakang perpustakaan, hanya diam tanpa suara sampai Akmal memulai pembicaraan itu.

"Ra, siapa aja yang masuk aksel?" Dia membuka topik yang salah. Kemarin aku sangat kesal saat mengetahui temanku berhasil masuk program akselerasi di SMA favorit di Bandung, kalian pasti tahu tanpa kusebutkan angkanya.

"Cuma Sultan," aku menjawab sekenanya, malas sekali rasanya membahas hal itu.

"Nara ...", Akmal menatap ke depan dan memanggil namaku dengan suara yang melembut.

"Ya, apa?" Aku melirik Akmal yang masih menatap ke depan.

"Lagian ga enak kali aksel tuh, kamu ga bisa nikmatin masa muda kamu," Akmal melirikku sekilas dan menunjukkan senyum isengnya kemudian menunduk.

"Tapi tuh tetep aja kesel," alisku kembali bertaut, kesal sekali rasanya saat mengingat hal itu.

"Nikmatin ajalah masa muda kamu," ucap Akmal sembari menunjukkan senyumnya dan menghentikan langkahnya karena ternyata kami sudah di depan perpustakaan. Terlihat beberapa anak sedang menggunakan printer, mungkin sekitar lima orang.

"Kayanya kita harus nunggu mereka dulu," ucapku sambil mengintip ke dalam perpustakaan.

"Hmm ... udahlah nanti aja, ke kelas yu," aku bingung dengan sikap Akmal yang plinplan, tapi saat itu aku hanya bisa diam dan terlalu malas untuk berkomentar.

"Kamu tuh harus bersyukur, di sini tuh temen-temennya ga fake dan ga ada yang borju kaya waktu SMP. Jadi kita bisa lebih solid karena ga ada perbedaan," perasaanku yang sedang kesal sedikit bertambah kesal, Akmal seolah sedang menceramahiku, menyebalkan.

"Iya Akmal, iya," aku menganggukan kepalaku dan berjalan mendahuluinya karena bel sudah berbunyi dan aku malah diceramahi.

Saat jam pelajaran tak ada hal apapun yang terjadi. Dia sibuk dengan tugasnya, begitu pun denganku. Setelah pelajaran selesai dan bel pulang berbunyi, ia mengajakku untuk mengantarnya menjilid tugas seni budaya, tapi aku benar-benar malas dan akhirnya dia pergi dengan Arya.

Tentangnya di 2015Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang