Kamis, 10 September 2015

14 4 0
                                    

Hari itu, pelajaran pertama adalah lintas minat dan kebetulan lintas minatku adalah bahasa Jepang. Setiap pelajaran LM (lintas minat) kami harus berpindah kelas dan secepat mungkin memilih kursi, kalau tidak bisa-bisa tidak kebagian kursi dan harus membawa sendiri dari kelas lain. Saat itu masih pagi dan tak pernah lupa kulakukan kebiasaan pagiku, melamun. Lebih tepatnya, aku memikirkan perasaanku yang sudah tak karuan karena semua perilaku Akmal hampir seminggu ini. Untungnya Akmal duduk kursi paling belakang dengan Arya karena dia terlambat.

Pelajaran telah dimulai dan materi pelajaran kali ini adalah angka. Aku, Riana, dan Marisa hanya berbincang santai karena pelajaran saat itu juga tidak begitu kaku. Tiba-tiba Riana tersenyum melirik ke samping kanan. Aku menengok ke belakang, ku lihat Arya sudah pindah duduk jadi di depan dan begitu pula Akmal. Ia kini berada di samping kananku. Namun, aku mencoba acuh terhadapnya karena ia juga tak menghiraukanku.

Tetap saja, bukan Nara namanya kalau tidak penasaran dengan Akmal. Aku berpura-pura bercermin melalui layar ponselku untuk melihat Akmal yang duduk di samping kananku, aku dan Akmal tidak begitu berdampingan, dia duduk satu bangku di belakangku. Aku juga tidak mau kalau harus menoleh ke belakang dan melihatnya langsung karena dia pasti akan bekata "apa Nara?" dan memasang wajah sinis yang dibuat-buat.

Setelah menghafalkan nomor dalam bahasa Jepang, kami ditugaskan untuk menanyakan nomor ponsel pada teman kami dan mencatatnya di buku, semakin banyak semakin bagus. Sialnya, aku baru mengumpulkan tiga nomor, tentu saja nomor Riana, Alika, dan Marisa. Mau tidak mau aku harus bertanya pada Akmal untuk menambah jumlahnya.

"Akmal sebutin nomornya," perintahku tak sabaran.

"Denwa ..."

"Ih ga perlu pake bahasa Jepang, cepet apa nomornya," dia memberi isyarat kalau di belakangku ada guru, jadi aku segera bertanya dalam bahasa Jepang.

"Denwa bangou wa namban desuka?"

"Zero ..." Ia sengaja menjawabnya dengan lambat.

"Cepet ih!"

"Zero hachi ichi ni," aku bersumpah dia menjawabnya dengan sangat lambat mungkin untuk menyebutkan empat nomor itu dia menghabiskan waktu sekitar dua menit.

"Ih, lama banget sih."

"Ichi roku yon," dan seterusnya dengan tempo yang sangat lambat dan tentu saja membuatku kesal. Sekarang giliran Akmal yang bertanya padaku. Dia bertanya padaku dengan sangaaaaaat lambat dan aku menjawabnya dengan satu tarikan nafas karena sudah terlalu kesal. Namun, karena Akmal menyebalkan jadi aku harus mengulanginya sebanyak lima kali. Aku heran kenapa dia begitu, aku tau dia hanya berpura-pura lambat. Mungkin dia sengaja ingin membuatku marah. Tapi anehnya, rasa kesalku sudah pasti tak bertahan lama karena Akmal punya senyum ajaib yang membuat kesalku hilang dalam sekejap. Sepertinya aku semakin bodoh setelah menyukai Akmal.

Tentangnya di 2015Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang