Selasa malam ini nggak seperti Selasa malam sebelum- sebelumnya dimana Wendy biasanya hanya tidur- tiduran di kamar. Malam ini Mark mengajaknya ke sebuah cafe di pinggiran kota. Mau traktiran karena tim basketnya kemarin baru menang lomba melawan SMA lain, katanya.
Janjiannya jam 7, tapi sampai jarum pendek arloji Wendy menunjuk ke angka 9, pria itu masih belum datang. Wendy sudah mencoba menghubunginya beberapa kali, tapi nggak diangkat. Wendy yang gak terbiasa meninggalkan janji tanpa mengabari, memutuskan untuk tetap menunggu disitu sampai Mark mengangkat telponnya.
"Maaf mbak, cafe kami sudah mau tutup"
Wendy tau suara ini. Ia mengangkat kepalanya dari hpnya.
"Sehun?"
"Oh, Wendy?"
Meskipun saat itu Sehun tidak memakai kacamata, Wendy tetap mengenali wajahnya. Rambutnya yang biasanya menutupi dahinya ditata sedemikian rupa sehingga jidatnya kelihatan. Pakaiannya layaknya pelayan cafe biasa, dengan kemeja putih dan celana kain hitam, dilengkapi dengan celemek pinggang berwarna hitam. Sehun dengan penampilan seperti ini merupakan hal baru bagi penglihatan Wendy, dan tidak bermaksud munafik... baginya lelaki itu lebih ganteng daripada biasanya.
"Lo ngapain disini?" tanya Wendy basa- basi. Dari setelan bajunya saja sebenarnya ia tau Sehun sedang bekerja.
"Kerja. Lo sendiri?" Sehun bertanya balik.
"Gue nungguin orang, tapi kayaknya dia nggak dateng deh..." kata Wendy.
"Gue boleh duduk?" Sehun memiringkan kepalanya ke arah bangku di seberang Wendy. Gadis itu mengangguk.
"Boleh, boleh, duduk aja" jawabnya.
Sehun lalu mengistirahatkan badannya di bangku yang dimaksud. Ia menutup matanya sejenak, lensa kontak yang dipakainya membuat matanya perih dan kering. Di lain sisi, Wendy mengamati lelaki itu dengan jeli sambil bertanya- tanya dalam hati, kenapa malam ini Sehun gak keliatan kayak biasanya.
Mungkin Wendy gak terlalu memperhatikan Sehun di sekolah. Tapi bagaimanapun, dari sudut manapun, Sehun yang biasanya dilihatnya di sekolah berbeda jauh dari yang duduk di depannya sekarang. Sehun biasanya selalu punya rambut untuk menutupi jidat dan sebagian matanya, selalu punya kacamata yang bertengger di hidungnya yang baru disadari Wendy, ternyata, mancung sempurna seperti pahatan. Sehun yang ini? Jujur aja, Wendy kesusahan mengalihkan perhatiannya dari dahi memikat pria itu. Bagaimana bisa sebuah kening terlihat begitu menarik?
"Lo nungguin siapa?" Sehun membuka matanya, mengejutkan Wendy yang hampir tertangkap basah sedang menguliti pria itu dengan tatapannya.
"Ada deh, temen" Wendy menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya. "Lo kerja disini? Kok gue dari tadi nggak liat elo ya?"
Sehun menegakkan posisi duduknya. "Gue asisten koki, jadi kerjanya di dapur. Tapi kalo dah beres- beres ya gue bantu bersihin"
"Oh" Wendy mengangguk paham. Hebat juga, anak SMA punya jabatan asisten koki. Tak disangkanya ternyata Sehun jago masak. "Lo suka masak?"
Sebenarnya Wendy ingin menampol dirinya sendiri setelah melayangkan pertanyaan barusan ke Sehun. Masih banyak hal yang bisa dibicarakan, ia malah memilih sebuah pertanyaan retorikal yang bisa saja disalahartikan sebagai sebuah hinaan oleh lelaki itu.
Tanpa diduga, tawa Sehun terdengar. "Hahaha, ya gitulah. Mama gue sakit stroke, jadi gue mau nggak mau harus bisa masak buat dia sama adek gue"
Wendy terdiam. Ia tak tau harus membalas apa terhadap pengakuan Sehun. Lelaki itu pun tampaknya sadar bahwa dia baru saja membuat suasana menjadi canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Sunshine [completed]
FanficWendy benci ketidakadilan. Di sekolahnya yang baru ia bertemu dengan Chanyeol, seorang bully yang selalu mengganggu teman sebangkunya, Sehun.