// C h a p t e r 3 //

97 7 3
                                    

"Your faith walks on broken glass

And the hangover doesn't pass

Nothing's ever built to last

You're in ruins"

— Green Day, 21 Guns

***

Sesampainya di rumah Leila, aku terpaku melihat betapa besarnya rumah Leila. Rumah Leila tampak seperti istana bagiku.

Are you fucking kidding me?” gumamku. Rumah ini terlalu besar!

“Apa yang kau ucapkan barusan, Troy?” tanya Leila sambil menatapku heran. Dia memandangku aneh. Sepertinya aku baru saja bergumam terlalu keras.

“Aku tidak mengucapkan apapun. Tenanglah.” Kau baru saja berbohong, Troy.

 “Kau mau mampir?”

Rumahnya tampak sepi sekali, mungkin tidak apa-apa jika aku menemani Leila sejenak. “Tentu.”

Aku segera mematikan mesinnya dan berjalan keluar. Leila berjalan tepat di depanku seraya merogoh tasnya. Dia mendapati kuncinya dan segera membukakan pagar rumahnya. “Silahkan masuk.”

Rumahnya tampak sepi sekali, tunggu, aku sudah berapa kali mengatakan seperti ini? Apalagi, suasana rumah tetangga sekitarnya pun juga sepi. Tiba-tiba, aku merasakan ada angin aneh yang baru saja melewatiku dan berhasil membuat buluku berdiri. Sungguh menakutkan. “Bagaimana kau bisa betah untuk tinggal di rumah hantu seperti ini?” tanyaku seraya menatap sekelilingku.

“Aku tidak betah untuk tinggal di rumah hantu seperti ini.” Jawabnya. “Percayalah padaku, Troy.” Leila memutar bola matanya.

Sepertinya aku adalah orang ke-100 yang menanyakan hal itu pada Leila.

“Gantung saja jaketmu di sana.” ujar Leila seraya menunjuk ke arah gantungan jaket yang terletak di dekat pintu.

Aku melepaskan jaketku, lalu menggantungnya. Aku mendapati Leila menganga keheranan seraya melihat tanganku. Ada apa dengannya? “Leila, kau oke?”

Ia menggelengkan kepalanya cepat. “Kau punya tato? Sejak kapan? Bagaimana mungkin ada seorang murid SMA yang sudah memiliki tato sebanyak ini?”

Oh, rupanya dia baru tahu jika aku memiliki tato sepanjang tahun SMA ini. Wajar saja jika ia baru menyadarinya, karena aku selalu menyembunyikannya dengan mengenakan jaket selama di sekolah. Setiap latihan sepak bola pun, aku selalu menggunakan deker panjang untuk menutupinya. Hanya teman-teman dekat dan tim sepak bolaku yang tahu bahwa aku memiliki tato.

Aku sudah memiliki tato sejak tahun pertamaku di bangku SMA. Tato pertama yang kumiliki adalah tato bergambar seorang anak sedang bermain papan skate. Entah kenapa sejak saat itu aku sangat menyukai tato. Jadi, seterusnya aku menambah beberapa tato lagi di lengan bagian bawah tangan kananku. Aku sudah memiliki sekitar 5 tato.

“Jadi, itulah alasannya kenapa kau selalu mengenakan jaket ketika bersekolah?” tanya Leila. “Anak yang hebat!”

Terima kasih banyak, Leila. Aku memang anak yang hebat, bukan?

“Tunggu,” ujar Leila seraya menggelengkan kepalanya. “Bukankah kau belum cukup umur untuk memiliki tato?”

“Umurku 18 tahun, Leila.”

“Aku kira kau berumur 14 tahun.”

“Apakah wajahku mendeskripsikan bahwa aku berumur 14 tahun?”

Band Saved Our Love [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang