1

3.7K 493 155
                                    

Aina

Kehidupan di Jakarta itu keras. Dengan segala ritmenya di setiap detik yang terlalu berharga untuk dilewatkan. Dengan berbagai alasan yang tersedia bagi orang-orang yang rela merantau jauh dari kotanya masing-masing. Dengan segala kemewahan hidup yang membuat setiap tetes keringat menjadi berarti.

Jakarta pun sibuk. Dilihat dari hiruk pikuk yang seakan tidak berhenti dari pagi hari ke pagi hari lagi. Para pekerja rela bangun dini hari demi menghindari kemacetan yang sudah menjadi pemandangan terlalu biasa di atas jam 5 pagi. Kalau Jakarta bisa bicara, mungkin ia pun akan protes kelelahan melihat kegiatan yang seolah tidak ada ampun mendatanginya.

Tapi dua alasan itu tidak menahanku untuk menghabiskan waktu lebih sering di Jakarta. Bisa dibilang dalam enam bulan terakhir, aku 90% waktuku dihabiskan disini. Bukan di Bandung.

"Kamu kalau mau di Bandung, nggak apa-apa. Toh aku pasti pulang seminggu sekali. Tapi ya emang sih, I'd be so much happier if you're here."

Ah. Senang sekali rasanya punya suami yang sangat mengerti kalau aku memang susah untuk jauh dari Bandung. Dari keluarga kami berdua. Dari bisnis yang aku rintis disana. Dan dari segala kenangan yang ada di setiap sudut kota Bandung.

But, hey, it's an obligation for a wife to stay beside her husband, isn't it?

Dulu memang aku sering bolak balik Jakarta-Bandung. Lalu setelah butik membuka cabang baru di Jakarta, aku stay beberapa bulan di Jakarta sampai pengurusan butik selesai.

Tapi sekarang rasanya, aku lebih butuh untuk di Jakarta. Demi membuatku tetap sibuk dengan sibuknya kota ini. Demi memberikan distraksi dari kesedihan yang rasanya tak berujung.

"Aneh banget liat lo sering di Jakarta begini, Na. Biasanya kita planning aja by phone or skype for the sake of you can't even leave Bandung. Lo beneran udah baik-baik aja?" ucap Lea setelah dengan seksama mengamati selama 3 bulan awal. Aneh, memang, Le. Bahkan aku sendiri pun merasa aneh.

Terkadang, sibuknya ibukota pun tidak bisa mengalihkan perhatianku. Aku masih saja sering melamun melihat ke luar dari jendela butik yang cukup besar. Bertanya pada diriku sendiri, apakah aku akan terbebas dari belenggu kekalutan ini? Apakah akhirnya aku akan ikhlas?

Time heals. Katanya.

Tapi selama enam bulan ini aku seperti berjalan di tempat.

Malam itu aku lagi-lagi aku duduk termenung di balkon apartemen. Menikmati angin malam yang sebenarnya berhembus agak kencang dari biasanya. Ditemani pemandangan lalu lintas malam yang masih padat. Tapi toh itu hanya hiasan saja, pemandangan itu tidak benar-benar membuatku memperhatikan. Karena aku sibuk dengan segala 'seandainya' di pikiranku sendiri.

Seandainya waktu bisa diulang.

Seandainya aku tidak terlalu senang.

Seandainya semua itu tidak terjadi kepada kami.

"Hey," aku mendengar sebuah sapaan yang sangat familiar di sampingku. "Aku kira kamu masih di butik."

"Enggak, tadi aku pulang duluan." Jawabku datar atas pertanyaan suamiku ini.

"Hmm gitu," dia terdiam sejenak. Mungkin bingung kenapa istrinya tidak menyambutnya dengan sumringah seperti yang dulu-dulu.

"Assalamualaikum. Aku pulang."

"Waalaikumsalam. Halo sayangkuuu. Gimana kerjaannya? Capek ya? Sini sini duduk aku udah bikin teh hangat buat kamu."

Kalimat manis, sambutan hangat dan pelukan erat yang biasanya aku berikan setiap ia pulang kerja nyatanya sudah tidak ada lagi.

"Masuk, yuk? Anginnya gede, sayang." Ucapnya setelah sempat diam.

"Nanti, Za. Aku masih mau disini."

Kami sama-sama diam. Membiarkan suara angin dan klakson mobil mengisi kekosongan di antara kami. Mungkin kala itu, dia pun sudah tidak tau harus bagaimana lagi berusaha mengembalikan semangat di dalam diriku.

"There's still a hope, dear. Don't lose it. Kita masih bisa coba lagi." Katanya pada akhirnya sambil merangkulku.

Ya, aku memang terus berharap. Tapi aku pun tau aku tidak bisa mendahului takdir, sayang.

metanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang