9

1.9K 363 30
                                    


Sore itu hujan turun rintik-rintik. Jam dinding baru menunjukkan pukul 4, namun gelapnya sudah seperti matahari terbenam. Pintu balkon yang terbuka di apartemen kediaman keluarga kecil Reza Fauzan, mengantarkan angin dingin yang menurut Aina, menusuknya sampai ke tulang.

Seperti langit yang sedang sendu, Aina kembali tersadar dari lamunannya. Kembali tersadar dari flashback entah ke berapa kalinya, mengenai kenangan indah hadiah pernikahannya. Masa-masa dimana ia dan Reza berada di atas awan. Dan kembali untuk keberapa kalinya, Aina menangis. Sendiri duduk di sofa, air matanya mengalir tanpa ia tahu bagaimana cara menghentikannya.

Kalau boleh jujur, Aina pun sudah bosan menangis. Apalagi menangisi hal yang sama secara terus menerus. Entah kenapa, mengingat kembali masa-masa saat ia dan Reza expecting dulu itu, malah membuatnya menangis. Padahal seharusnya, masa itu lah yang membuatnya senang. Senang karena, untuk beberapa saat ia dan Reza bisa merasakan bagaimana berharganya sebuah penantian. Senang karena mereka bisa berbagi kebahagiaan kepada orang-orang di sekitar mereka.

Namun pada kenyataannya, Aina sendiri pun tidak tau ia kala itu menangis karena apa.

Aina sangat paham bahwa ia tends to overthink things. Things that actually a mere assumption, barely a nightmare. Aina tahu sudah sekian lama ini ia terlalu larut dalam kesedihannya. Even more so, to the point of taking him for granted. Reza sudah terlalu baik buat Aina selama ini. Padahal Aina yakin, suaminya itu juga pasti mengalami kesedihan dan kegalauan yang sama dengannya. Ditambah lagi, ia harus mengasuh Aina agar tidak sedih lagi. Segala usaha sudah Eja lakukan, sampai ke Jepang bahkan, usaha yang sejauh ini paling lama mengembalikan Aina seperti Aina yang dulu lagi. Yang manja ke Reza, yang ceria, yang suka bercanda.

Tapi entah mengapa, sore ini kenangan indah yang sebenarnya semu, yang selama ini Aina usaha kubur dalam-dalam itu, tiba-tiba saja mencuat ke permukaan.

Mungkin karena Aina yang belum bisa benar-benar menjejak bumi, menyadari bahwa sudah waktunya ia harus menghadapi kenyataan. Mungkin karena Aina masih tidak mau menerima, kalau ia sudah dibuatkan janji oleh Reza untuk menemui dokter.

"Assalaamualaikum, Na..?"

And she put up her best smile, because she refused to show his loving husband otherwise.

Saatnya menghadapi kenyataan, Aina.


-


"Aina? Eh ya ampun, Aina kan?"

Aina yang baru saja selesai meeting bersama klien di satu kafe di daerah Kemang, mengangkat kepalanya mencari sumber suara. "Kak Retno?"

"Iya! Ih udah lama banget Ainaaa."

Retno adalah senior sejurusan Aina dulu, mereka sempat bertemu di beberapa kegiatan kemahasiswaan, Retno juga cukup kenal baik dengan Reza. Namun setelah lulus, mereka belum sempat saling menghubungi lagi, dan ini pertama kalinya mereka bertemu.

"Gue mau pilih-pilih pastry dulu ya Na. You go on catch up sama kak Retno." Kata Lea.

"Iya Le, lo jadi tungguin gue nggak apa ya." Hari itu memang Aina sudah janji akan pulang bareng dan mengantar Lea ke rumahnya, kalau tidak ia bisa dipanggang hidup-hidup oleh Aga. "Inget Le, nggak boleh kopi kata Aga!" tak lupa ia mengingatkan sahabatnya yang sering bandel itu.

"Akhirnya kamu jadi sama Reza juga kaan? Aku kan bilang dari dulu. Modelan kamu sama Reza sih, tinggal nunggu undangan disebar aja.." ujar Retno saat mereka catch up.

metanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang