bonus; 12th of September

2.5K 302 22
                                    


Beginilah rutinitas Aina setiap paginya.
Dini hari sekitar pukul empat, entah alarm handphonenya atau alarm alaminya—suara tangisan Nami—yang membuat ia membuka mata. Pagi ini, ia terbangun karena alasan yang kedua.
Naluri seorang ibu, Aina langsung melepaskan diri dari kemulan hangat selimut dan juga lengan Reza yang sebelumnya seperti biasa merangkulnya menuju tidur, dan melangkahkan kaki menuju babybox Nami di kamar sebelah melalui connecting door yang selalu dibiarkan terbuka.
Cantik kecilnya itu sedang menangis, mukanya merah dihiasi air mata yang bergulir. Matanya mulai mengenali harum ibunya yang mendekat, tangan gemuknya menggapai ingin segera dipeluk ibunnya. Aina langsung mengecek popoknya yang ternyata sudah penuh, menggantinya dengan telaten. Namun tangisan Nami tak kunjung hilang.
“Lapar ya sayang? Jangan nangis lagi nanti ayah bangun yaaa.”
Aina pun duduk di sofabed empuk di sebelah boks Nami. Sofa ini sudah disiapkan dari awal Aina hamil oleh Reza, ‘supaya kamu bisa istirahat sambil main sama Nami disini, Na’. Dan benar saja, sekarang sofabed itu sudah menjadi tempat tidur kedua favorit Nami. Karena sebentar saja Aina menyusui Nami disitu, ia sudah tenang. Aina punya kebiasaan mengajak ngobrol Nami ketika mereka sedang menjalani ikatan ibu dan anak terkuat ini. Tentang apa saja, tentang kemarin mereka dari Bandung berjalan-jalan, tentang ayahnya Nami yang lelah karena habis menyetir tapi ada meeting pagi, juga tentang..
“Nak, kamu tahu nggak hari ini hari apa?”
Nami belum bisa jawab ibun, Nami hanya mengedipkan matanya yang bulat itu memandang ibunnya dengan ingin tahu.
“Hari ini kamu baik-baik sama ayah yaa.”
Setelah menepuk-nepuk Nami yang mulai terlelap, tanpa sadar Aina pun ikut memejamkan mata.

Ketika Aina bangun, matahari sudah terbit cukup tinggi. Ia mengucek matanya dengan bingung, melihat ke sebelahnya namun Nami sudah tidak di sebelahnya, ia sudah tertidur lelap kembali di dalam boks.
“Ya ampun Za, sekarang jam berapa?” dengan tersentak Aina bangun dengan maksud membangunkan suaminya yang jangan-jangan bisa terlambat.
Namun tempat tidur mereka sudah rapi kembali, selimut sudah dilipat dan hanya ada piyama yang—seperti biasa—terkadang lupa Reza masukkan ke keranjang setelah digunakan. Aina mengambilnya, dan menyadari ada kertas tertempel di meja kecil sebelah tempat tidur.

Nggak tega bangunin kamu sama Nami. Aku meeting pagi ya sayang. Take care.

Sepuluh tahun sudah mereka bersama, dan Reza masih selalu bisa membuat Aina tersenyum karena hal kecil begini.
--

Ternyata hari itu menjadi hari pertama kerja yang cukup sibuk untuk Aina. Setelah membuat sarapan dan bersiap-siap pergi, Aina mendapat kabar kalau susternya Nami yang biasa menunggu sebentar jika Aina bekerja sakit dan tidak bisa datang. jadi Aina harus membawa Nami ke kantor beserta tas besar berisi perlengkapannya, baju ganti, popok, kasur kecil, selimut, alat pumping, dan menjadi makan waktu sehingga Aina hampir terlambat bertemu klien di butik.
Sesampainya di butik, Hani salah satu pekerjanya sudah siap membantu Aina menjaga Nami sementara ia menyelesaikan urusannya dengan klien. Baru selesai, ia dapat telepon harus hadir di lunch meeting bersama tim wedding organizer yang lain. Karena Lea masih kurang sehat dan butuh istirahat di rumah, ia harus menggantikan juga kerjaan bagian Lea.
Hari Aina sibuk sekali, padahal dalam hatinya ingin menyempatkan menelepon Reza untuk sekedar memberi selamat ulang tahun. Namun belum dapat terlaksana.

Akhirnya pukul 5 sore ia berhasil menyelesaikan seluruh aktifitasnya, dan membawa Nami kembali pulang ke rumah. Sepertinya Nami mengerti keadaan ibunnya, sehingga ia hari ini anteng dan tidak rewel.
“My little giirl. Sholeha banget hari ini.” ujarnya sambil membetulkan baby seat Nami di mobil. “Kita bikin sesuatu buat ayah dulu ya!”
--

Reza mengendorkan dasinya ketika kembali ke ruang kerjanya dengan dahi berkerut. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Meskipun kemarin liburan ia sudah sempat ke bandung dan bertemu teman-teman lain, hari ini rasanya energinya langsung habis. Dalam sehari ada tiga rapat yang ketiganya ia menemukan banyak masalah padahal deadline laporan keuangannya sudah dekat. Belum lagi ditambah komplain dari klien barunya yang sempat terbengkalai karena ada pegawainya yang sedang cuti.
Baru saja Reza berhasil menyandarkan badannya di kursi, sudah ada ketukan di pintu ruangannya. Ibu Sisi, wanita paruh baya sekretarisnya bertanya, “Mas Reza hari ini lembur? Mau dipesankan makan?”
Reza melirik handphonenya yang baru saja menyala, menampilkan balasan pesannya yang bertanya Aina mau dijemput dimana,
‘Aku udah di rumah. Kamu cepet pulang aja ya.’
“Nggak bu, hari ini saya makan di rumah aja. Sebentar lagi mau pulang.”

Jakarta, kehidupan lalu lintas ibu kota ini memang tidak pernah mati. Beruntung Reza dan Aina memiliki apartemen yang berada cukup di pusat kota, sehingga meskipun masih terkena macet di beberapa tempat, tapi tidak membuat terlalu menderita. Reza selesai memarkirkan mobilnya setelah hampir satu jam perjalanan dari kantornya. Sambil menyampirkan jasnya, ia bergegas menaiki lift menuju rumahnya. Ia hanya ingin bertemu dua orang kesayangannya, dan melupakan rasa lelah yang ia alami hari ini.
Baru saja ia membuka pintu depan, ia sudah disambut oleh Aina yang sudah menunggu sambil menggunakan baby carrier untuk menggendong Nami di depannya.
“Selamat ulangtahun, Za!”
“Yaah! Poonyyaahh!” si kecil seperti ikut senang merayakan ulangtahun ayahnya.
Kemudian Aina maju untuk memeluk suaminya perlahan, supaya Nami bisa ikut memeluk ayahnya juga. “Sini sini, lihat aku bikin apaa.” Katanya sambil menarik tangan Reza ke arah pantry.
Ada kue brownies almond kesukaan Reza, dilengkapi dengan lilin angka 28 yang sedang menyala. Senyum Reza merekah lebar sekali, mendesak matanya hingga tinggal segaris dan menampakkan kedua lesung pipinya. Kemudian ia memeluk erat Aina dari belakang dan menempatkan kepalanya di pundak istrinya itu.
“Kamu repot-repot banget sih, Na.” Katanya seraya mengesampingkan rambut Aina ke sisi pundaknya yang lain.
“Ya nggak lah Zaa. Aku kan tadi pagi nggak sempet ngucapin juga. Ini sih kecil-kecilan banget. Maaf ya..” Ia menengok ke arah suaminya dan mengecup pipinya perlahan, “Happy birthday, you. Be happy always.” Bisiknya lirih.
“How can I not, when I have you both?” jawabnya, sambil mengecup dahi Aina, hidung, dan bibirnya. Kemudian berpindah mengangkat si kecil Nami yang sedari tadi tertawa-tawa. “Ayo anak ayah, kita tiup lilin.”

Akhirnya sampai juga mereka pada recharge time of the day. Saatnya bertukar cerita  mengenai kesibukan mereka seharian, dan menertawakan kelelahan mereka hari itu.
“Za!” kata Aina tiba-tiba, setelah Reza selesai menidurkan Nami ke boks.”Aku belum beli kado... nanti akhir minggu ya? Gini rasanya ya, kata orang begitu punya anak langsung lupa semuanya tuh.”
“Nggak apa-apa, Na. Nggak usah.”
“Kok gitu sih”
Reza cuma tertawa, “..yang ada aja deh.”
Belum sempat Aina bertanya maksudnya apa, ia sudah digendong masuk ke kamar tidurnya dan Reza.

What a way to spend a day. But happy birthday anyway, Reza Fauzan.

metanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang