"Pokoknya starter kit buat bayi lo harus gue yang beliin. Lo sekarang ikut cuma buat bilang bagus atau enggak, suka atau enggak." ucap Lea kepada Aina ketika mereka baru saja sampai di sebuah pusat perbelanjaan, untuk shopping baby needs.
"Iya, galak banget sih."
"Itu bukan galak, sweetheart. Itu namanya perhatian. Harusnya lo seneng dong gue yang beliin jadi lo sama Eja tinggal beli sisanya."
"Tapi kok lo nyebutnya starter kit sih, berasa makeup."
"Oh iya juga sih," Lea tampak berfikir sebentar untuk mengoreksi istilah yang ia pakai tadi. "Yaudah, essential things deh."
"Maksa." Keduanya tertawa mendengar pilihan kata Lea barusan.
Setelah sampai di Mothercare, Lea dan Aina segera berbaur dengan para calon ibu dan ibu muda yang sudah lebih dulu ada disana. Melewati dari rak yang satu ke rak yang lainnya. Tipikal perempuan memang, harus scanning setiap rak terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan apa yang hendak dibelinya. Kalau ada itu juga.
"Ini gemes banget gak sih?" tanya Lea ketika mendapati sebuah stroller cantic berwarna peach. "Cocok banget sama lo yang kalem."
"Lo mau beliin ini?"
"Nggak sih, pasti mahal. Susah ijinnya sama suami kalo mahal begini."
"Selama bukan makeup kayanya Aga oke aja deh, Le."
"Bener juga lo." Lea melihat kembali ke tag harga stroller tersebut. "Nanti aja deh gue ngamen dulu."
Lea dan Aina memilih-milih barang yang akan mereka beli. Karena ada banyak sekali pilihan, mereka berdua bingung dan malah menghabiskan waktu mengagumi dan berkomentar 'gemes banget' di setiap rak yang mereka lalui.
Setelah lebih dari 30 menit menyusuri rak-rak yang ada, Lea akhirnya memutuskan untuk membeli kapas-kapas basah yang sudah dibentuk bulat kecil-kecil, lalu beberapa baju tidur, selimut, baju gaya untuk bepergian, serta sepatu yang lebih mirip kaos kaki. Kata Lea, untuk sementara ini dulu yang ia beri ke Aina. Masih banyak yang akan menyusul.
Sesampainya di apartemen setelah diantar pulang oleh Lea, Aina segera menyimpan tas belanjaan di kamar kosong di sebelah kamarnya dengan Reza. Kamar itu memang sudah direncanakan dipakai untuk anaknya kelak kalau sudah besar. Karena selama masih bayi tentunya akan satu kamar dengan orang tua.
Begitu menyimpan barang belanjaan, Aina duduk dan membayangkan kalau nanti anaknya sudah besar. Anaknya akan tidur disini sendirian, dan ketika mimpi buruk akan berjalan ke kamarnya dan Reza lalu membangunkan mereka berdua. Atau ketika anaknya sudah mulai asik bermain dengan segala jenis mainan yang memang disediakan untuknya. Lalu kalau sudah lelah, ia akan tertidur dengan kondisi mainan yang masih berantakan. Dengan membayangkannya saja, Aina sudah terharu sekali. Tidak menyangka kalau ia dan Reza akan menjadi orang tua. Aina mengelus pelan perutnya sambil berbisik, "Yang sehat ya, dek."
"Sayang? Kamu disini ternyata." Reza datang menghampiri Aina yang kemudian menyalami dan memeluknya. "Tadi aku assalamualaikum nggak ada yang jawab kirain kamu belum pulang. Taunya kamar ini nyala makanya aku kesini."
"Maaf ya aku nggak denger."
"Nggak apa-apa. Lagi apa emang kamu disini, hm?" Reza merangkul bahu Aina yang otomatis langsung bersandar padanya, walaupun mereka sedang berada dalam posisi yang berbeda. Aina sedang duduk sementara Reza berdiri.
"Aku cuma lagi berkhayal aja. Nanti kalau anak kita udah gede terus tidur disini, bakal gimana. Lucu kayanya."
"Iya, pasti. Eh tadi gimana belanjanya?"
"Itu," Aina menunjuk tas belanja hasil shopping dengan Lea tadi. Reza mengambilnya dan melihat-lihat isinya. "Dari Lea semua. Dia ngotot mau beliin, aku nggak boleh bayar."
"Beruntung banget kamu emang sahabatan sama Lea."
"Iya bener. Kata Lea yang sekarang dibeliin yang penting aja dulu. Nanti dia mau beliin lagi macem-macem. Tapi kasian sih, masa beliin kita terus ya?"
"Nanti kan kamu bisa beliin dia sama Aga." Reza menenangkan Aina. "Kamu mau ngerombak kamar ini?"
Aina melihat seisi kamar tersebut. Di dalam benaknya sudah ada beberapa gambaran mau diapakan kamar itu kelak. "Nggak ngerombak, paling aku atur sama milih isinya gitu-gitu."
"You and your passion in design ya memang tidak berubah. Kamu harusnya jadi konsultan desain interior."
"Nggak mau ah, aku maunya desain buat rumah tangga kita aja."
"Uh gombal." Reza mencubit pelan tangan Aina setelah mendengar ucapannya. Lalu ia membereskan beberapa barang yang ada di kamar itu. "Na, kita bakal jadi orang tua yang sempurna nggak ya, untuk anak kita nanti?"
"Sempurna sih mungkin nggak, sayang. Tapi aku tau kita pasti sama-sama berusaha jadi sosok orang tua yang terbaik." Aina bangkit dari duduknya lalu menghampiri suaminya. "Yang jelas kita harus kerja sama untuk itu. I'm sure you'll be a parent anyone could ask for."
"You'll be too." Mereka berdua sama-sama tersenyum.
Perjalanan menjadi orang tua memang tidak mudah. Apalagi, setelah menjadi orang tua, dan berusaha menjadi sosok orang tua yang patut dicontoh oleh anaknya, sangat tidak mudah. Rumah tangga memang tidak selamanya tanpa kerikil. Tapi mereka berdua yakin, bahkan batu besar sekalipun, bisa mereka lewati, asalkan mereka bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
metanoia
Romancethe journey of changing one's mind, heart, self, or way of life. an ejastories 2.0 || updates once a week