14

2K 361 66
                                    

"Aku pengen kamu jadi orang yang pertama aku liat pas aku bangun tidur, dan orang terakhir yang aku liat juga sebelum aku mengakhiri aktifitas aku hari itu dengan tidur."

Baik Reza maupun Aina, tidak pernah melupakan kata-kata tersebut. Kata-kata yang diucapkan seorang insan pada wanita yang dicintainya sejak lama, dibawah tatapan bulan diiringi desir ombak. Sambil memberikan bunga dalam bentuk cincin. Cincin sederhana itu masih ada, Aina keringkan dan disimpan rapi di dalam kotak benda berharganya. Karena meskipun terlihat sederhana, kenangan dibalik terciptanya cincin itu terlalu rumit. Dan Aina ingin mengenang semuanya, semua lika-liku perjalanan mereka hingga berdua mengucap janji untuk menghabiskan hidup bersama.

Malam itu, Reza kembali melihat bidadarinya dan tidak pernah lupa bagaimana perasaannya. Bagaimana jantungnya berdegup lebih kencang, matanya yang tampak tidak pernah bosan mengagumi kecantikan wajahnya, serta keanggunan perilaku yang mencerminkan hatinya. Sesimpel melihat Aina baru menyelesaikan ritual malamnya—istilah Reza untuk bersiap-siap tidur—menggunakan piyama panjang satin berwarna salem. Kadang Reza lupa, dirinya ini sudah hampir kepala tiga, tapi tetap merasa seperti remaja yang dimabuk cinta hanya karena melihat istrinya.

"Cantik banget sih, bu Reza." Panggilnya sambil mengelus pundak istrinya yang langsung bersandar ke pelukannya.

Aina juga sama, sejuta kali mendengar panggilan 'cantik' dan 'bu Reza' dalam satu kalimat yang sama pun tetap membuat pipinya terasa hangat dan merona merah muda. Ia membenamkan kepalanya ke pundak suaminya. Suasana malam itu hening, hanya terdengar hembusan napas mereka yang tenang dan tampak seirama. Well, some hearts understand each other, even in silence. It's the connection that can't be explained.

Sampai akhirnya Aina berbicara, "Bu Rezanya mau ngomong sama Pak Reza."

Reza yang masih mengelus pundak istrinya merubah posisi bersandarnya agar sepenuhnya menghadap Aina, siap memberi perhatian penuh.

"Hm?" gumam Reza, menjawab istrinya.

"Kamu.. bahagia nggak sekarang?"

"Bahagia dong, sayang. Kok kamu nanyanya gitu?"

"Kamu nggak nyesel Za, nikah sama aku?" Aina tidak berani melihat mata suaminya saat bertanya, ia hanya memainkan ujung kaos putih Reza dengan tangan kirinya.

"Aku bales nanya ah. Kamu emang nyesel Na?" Beginilah cara Reza memancing Aina untuk memulai deep talk mereka malam hari. Ketika semua urusan sudah selesai, rasa capek akan berkegiatan seharian sudah kembali pulih. Kadang ia menyebutnya quality pillow talk. Hanya ia dan Aina, perasaaan mereka, ditemani malam yang sunyi.

"Hehe. Kita udah lama ya sayang nggak quality pillow talk?" Aina tertawa kecil, "dan aku pikir sedikit banyaknya gara-gara aku deh."

Reza membetulkan posisi duduknya. Seolah bisa mendengar pikiran Aina yang ramai ingin segera diungkapkan, ia membiarkan Aina berbicara.

"Za. Kejadian ini, nggak jadinya calon anak kita ini," akhirnya mereka sampai pada topik utama, yang semenjak 8 bulan yang lalu kata itu tidak pernah keluar diantara pembicaraan mereka, "membuat aku jadi berpikir lebih jauh. Bukan tentang aku dan kita yang sedih karena harapan kita pupus. Tapi hal yang jauh lebih besar."

"Apa itu?"

"Za.. ketika kamu lamar aku, you didn't sign up for taking care of one- unhealthy person, you didn't sign up for a very sad woman who just wishes for her time alone for months, sometimes ignoring her husband's need." Aina melepaskan diri dari nyamannya pundak Reza. "nanti dulu, aku belum selesai sayang. Yang aku pikirkan, beberapa bulan ini aku seperti egois. Aku ingin waktu sendiri, dan kamu sangat sabar menghadapi aku yang nggak tahu diuntung ini. Kamu mengedepankan semua kebutuhan aku, sementara aku kemana?"

metanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang