Aina
"How are you?"
"Quite hectic but I'm okay. You?"
"Aku baik." Aku menjawabnya dengan tersenyum. Walaupun aku tau ia tidak bisa melihatku tersenyum, aku tetap melakukannya. Terlalu senang mungkin, mendengar suaranya yang sudah beberapa hari ini sempat terlalu sibuk untuk dihubungi.
"Aku kangen, Na."
"Aku juga. Kamu makan bener disana? Jangan kelewat sarapan ya, kamu kan kalo lagi sibuk suka lupa sarapan."
"Bener kok," terdengar tawa kecilnya di seberang sana setelah itu. "Aku kangen yang begini nih, kamu bawelin aku biar nggak lupa makan."
"Apa perlu aku telfon kamu tiap sebelum ke kantor biar kamu nggak lupa?"
"Aku pengennya kamu disini nemenin aku, Na."
"Ih maunya!" lalu kami berdua tertawa.
"Maaf ya kita jadi LDR begini. Nggak lama kok. Abis itu aku bener properly lamar kamu ke keluarga kamu, ya?"
"Gak apa-apa. As long as you're healthy and happy and still love me, aku tunggu."
Rindu sekali. Rindu masa-masa saat aku dan Reza terpisah jarak dan waktu antara Bandung-Singapura. Selang dua bulan setelah Reza memintaku untuk menjadi istrinya, ia dipindahtugaskan ke Singapura, karena ada proyek disana. Katanya, itu akan berlangsung selama kurang lebih satu tahun. Itu pun kalau lancar.
Sebenarnya, kalau Reza tidak dinas ke Singapura, lamaran kami sudah dilaksanakan. Tapi aku tidak bisa menuntut macam-macam saat Reza dipercaya untuk handle proyek oleh bosnya.
Aku rindu saat kami LDR. Bukan karena kami yang berjauhan, namun aku rindu saat Reza tidak perlu melihat aku saat aku sedih. Atau bahkan saat aku tidak tau apa yang aku rasakan. Walaupun memang pada akhirnya ia tau ada sesuatu yang salah denganku, setidaknya dia tidak menyaksikan secara langsung.
Tidak seperti sekarang.
Aku tidak tega terus menerus memperlihatkan kesedihan ku yang aku sendiri tidak tau kapan akan menemukan akhir. Tapi kalau aku menutupinya dengan wajah sumringah, itu akan jauh lebih sedih. Karena aku berpura-pura.
Kalau dilihat, sekarang ini aku jauh lebih bisa menerima dibandingkan enam bulan lalu. Saat enam bulan lalu, ketika baru saja aku dapat kabar soal itu, aku hampir tidak pernah keluar kamar. Mengurung diriku dengan tangis. Namun toh seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa menerima. Walaupun sedikit.
Sekarang, rasa sedih itu hanya datang di waktu-waktu tertentu. Tapi dalam satu waktu sekaligus. Bertubi-tubi. Sehingga rasanya seperti dihujani oleh batu yang tidak kunjung berhenti.
"Kamu mau aku temenin cek ke dokter, sayang?"
"Belum, Za, bukan hari ini kok."
"Tapi minggu ini kan ya? Kamu maunya kapan?"
"Besok, kayaknya deh."
"Yaudah besok aku temenin."
"Nggak usah, kamu kan kerja."
"Kamu lebih penting."
Reza mengelus pelan tanganku setelahnya. Mungkin ia bisa merasakan kalau aku gelisah mengingat besok harus cek ke dokter.
"Jangan khawatir. Aku nggak mau kamu khawatir. Pikirin nya yang baik-baik aja, ya?"
Aku hanya bisa tersenyum lemah menjawabnya. Menghilangkan segala pikiran 'kalau' yang cenderung negatif dari otak ini.
Semoga semua baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
metanoia
Romancethe journey of changing one's mind, heart, self, or way of life. an ejastories 2.0 || updates once a week