"Mamaaa liat aku jatoh barusaaaan"
"Aduh nak, makannya hati-hati ya, anak mama nggak nangis kan?"
"Enggak dong kan aku udah gede!"
Tanpa sadar Aina ikut tersenyum memperhatikan percakapan seorang ibu muda dan anak balitanya di tempat duduk seberangnya. Anak laki-laki itu baru saja menghampiri meja kasir melihat dekorasi unik di dalam kafe yang berisikan hasil lipatan origami dengan berbagai macam bentuk. Karena terlalu asik memperhatikan, anak itu tidak melihat ada tangga kecil di depannya dan ia tersandung. Hampir saja Aina mau menghampiri anak itu, tapi anak itu sudah kabur ke tempat duduk ibunya yang jaraknya tidak jauh dari tempat duduk Aina. Melihat anak itu sudah aman, Aina kembali menyeruput iced chocolatenya. Aina merasa ia butuh asupan gula untuk otaknya yang akhir-akhir ini tidak berhenti berdengung. Seolah-olah ada mesin yang tidak berhenti berbunyi di dalam pikirannya.
"Sayang, temenin mama yuk besok mau belanja bahan. Siang kita makan dulu aja ya."
Bagaimana bisa Aina menolak permintaan mama Dela—mamanya Reza yang tiba-tiba menelpon kemarin sore? Sejujurnya Aina agak tegang, ia bahkan mulai memikirkan jawaban jika mama bertanya sesuatu tentang ia dan Reza. Jujur semenjak percakapan awkward mereka di mobil, Aina dan Reza sedang jarang berkontakan satu sama lain. Chatting mereka pun terasa hambar, tidak saling berbalas seru seperti biasanya. Seolah mereka tetap saling mengucapkan selamat pagi, selamat tidur, jangan lupa sholat hanya karena sudah terbiasa saja. Namun dalam hati, ada hal yang jauh lebih mengganggu pikiran mereka yang tidak berani dikeluarkan ke permukaan.
"Na, udah lama ya?" tiba-tiba mama Dela sudah berada di belakang Aina
"eh mama, belum kok" Aina mencium punggung tangan dan pipi beliau, seperti biasa jika mereka bertemu. "tadi mama kesini sama siapa? Padahal bisa Aina jemput ma."
"nggak usah cantik, kan kamu juga tadi kerja dulu. Udah pesen kan? Kita santai disini dulu aja ya, diluar macet."
Aina tidak tahu kalau 'belanja bahan' sebenarnya hanya alasan mama untuk bertemu. Sebenarnya, beliau hanya menjadi ibu yang baik. Ibu yang bisa merasakan jika ada anaknya yang sedang bingung dan kalut. Termasuk calon anak perempuan yang ada di depannya ini. ketika mama baru sampai di kafe pun, terlihat wajah Aina yang sedikit bengong lengkap dengan kerutan dahi yang menandakan bahwa ia sedang berpikir keras.
"Sayang.. mama lihat kok kamu sama Reza lagi jarang telfonan." Lanjut mama santai. "Lagi nggak baik ya?"
Nada bicara beliau tidak seperti menekan, menghakimi, ataupun memberi beban. Sungguh anugerah bagi beliau untuk bisa membawa pembicaraan dengan sangat menenangkan, menurut Aina. Tutur kata beliau juga sangat halus dan hati-hati. Aina jadi merasa tidak sampai hati kalau sampai harus bercerita yang sebenarnya. Tapi salah satu yang menjadi kelemahan Aina adalah, tidak pandai berbohong.
"Maaf ya ma.." Aina menunduk.
"Kok minta maaf sih" tangan mama Dela meraih tangan Aina dari seberang meja. "Kenapa Na, mama bisa bantu?"
"Aina nggak enak ceritanya, ma.."
Satu sisi Aina tidak pandai berbohong, tapi yang jadi masalah adalah ini menyangkut keluarga mama Dela langsung, mungkinkah Aina sampai hati menceritakannya? Dan apakah hal ini pantas untuk diceritakan tanpa mengesankan Aina mengadu?
Tapi Aina juga manusia biasa, yang memiliki batasan dalam menahan emosinya. Sakit hati, kerisauan, dan campur aduk perasaan ini belum sempat ia utarakan kepada siapapun, bahkan kepada orangtuanya sendiri sejak pembicaraannya terakhir dengan Reza minggu lalu. Aina hanya tidak ingin orang di sekitarnya khawatir. Tapi sebagai kompensasinya, semua kekhawatiran itu ia simpan dalam-dalam di lubuk hatinya sendiri. Biasanya ada Reza yang selalu mengingatkan 'it's not good for your heart, Na.' But this time, Reza also suffers from uncertainty. They're just being humane, after all.
Aina menyelesaikan reka ulang kejadian di arisan keluarga itu dengan menyeka kedua air matanya yang entah sejak kapan sudah tidak terbendung. Sakit sekali rasanya, harus menceritakan ulang kata-kata menyakitkan itu, seolah mengulang kembali sakit hatinya saat pertama kali mendengarnya. Terlebih lagi, di hadapan mama Dela, calon keluarganya, calon ibunya, tempat dimana ia seharusnya tidak menunjukkan sisi terlemahnya.
"Aina minta maaf, ma. Kalau memang Aina tidak pantas untuk berada disini, melanjutkan ini semuanya."
"Aina." Mama Dela berpindah posisi duduk menjadi berada di sebelah Aina, untuk merangkul gadis cantik yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri itu, "kamu tahu, mama sedih sekali melihat kamu nangis kayak gini.. berhenti dulu ya?"
"Nak," lanjut mama Dela setelah tangis Aina mulai mereda, "Mama mau minta tolong sama kamu. Jangan biarkan perkataan tante Diana itu masuk sedikitpun ke pikiran kamu, apalagi sampai ke hati kamu." Beliau menyeka air mata Aina, "Hati Aina Zahran ini kuat sekali, tapi jangan sampai karena sandungan seperti ini, apa yang sudah susah-susah kamu bangun bersama Reza selama ini jadi goyah. Sekarang mama tanya, tante Diana itu siapa?"
"Maksudnya, adiknya mama?"
"Iya betul, tapi tante Diana itu manusia." Mama Dela sedikit tertawa dan bahkan menularkan tawa pada Aina sebelum melanjutkan, "tante Diana juga manusia yang memang sudah kodratnya akan berkomentar. Pasti akan ada pendapat yang berbeda, pasti akan ada saran yang mendukung, pasti akan ada kritik yang menjatuhkan kemanapun dan apapun yang kita lakukan. Tapi kita harus maju terus kan?"
"Nah gitu dong cantik, udah senyum sekarang. Apa sih istilah kalian tuh, jangan galau ya?"
Aina membenamkan kepalanya di pelukan Mama Dela.
"Tahu nggak Na, sebenernya kemarin Eja sudah mama paksa buat ceritain sebenernya ada apa. Tapi eja nggak cerita sedetil kamu. Kan kamu tahu ya, dia kalau ada masalah nggak banyak ngomong. Diem aja kayak papanya juga begitu."
"Aina juga salah ma, sampai meragukan Eja segala."
"Ya sudah, biar kalian belajar. Eja juga udah uring-uringan tuh kerjaannya di rumah liatin handphooone terus. Sampe dibawa-bawa ke meja makan itu. Nunggu siapaa gitu kayaknya ngabarin dia." Mama Dela mengelus kepala Aina dengan penuh sayang, "Kamu juga sabar-sabar ya, Eja itu mirip papanya. Egonya cukup tinggi. Kalau logikanya sudah jalan, dia cenderung nggak mau dengar apa kata orang lain."
"Aina juga pengen belajar supaya bisa sabar kayak mama.."
***
That was your promise, Na.
Entah sudah berapa lama Aina duduk di lantai memegang hasil foto USG miliknya. Kenangan-kenangan akan masa-masa sulitnya berdatangan silih berganti. Sepertinya Tuhan memilih waktu yang tepat dalam mengingatkan Aina. Aina jadi tersadar beberapa kali masalah datang, ia dan Reza seperti jalan di tempat. Dengan kata lain, mereka tetap melakukan kesalahan yang sama. Mereka terlalu sibuk larut dalam kesedihan masing-masing, lebih sedikit terbuka satu sama lain, dan pada akhirnya berujung memendam perasaan mereka sendiri.
Everything happens for a reason. Setelah semua yang mereka hadapi, apakah Aina sudah cukup sabar menghadapi semuanya? Apakah ia sudah berhasil memetik the reason why masalah tersebut dipercayakan pada ia dan Reza? Apakah mereka sudah saling membicarakan apa yang mereka rasakan masing-masing sepenuhnya, heart to heart?
Sementara gunanya mereka sekarang berdua, is to make two better than one, right?
"Na, sayang, hey," Reza memanggil istrinya yang mulai diam tidak mengeluarkan kata apapun. Bahkan tubuhnya masih terpaku dalam posisi yang sama, dan menatap kosong lantai di depannya. Air mata Aina akhirnya terjatuh, kenyataan seperti menghantamnya begitu saja, pahit. Tangan Reza langsung saja membawanya ke dalam pelukan. Reza menghela napas, mengerti sekali bahwa satu foto USG bisa membawa Aina-nya kembali ke masa-masa menyedihkan itu.
Tangis Aina tidak bersuara. Bukan juga tangis yang meraung-raung yang membuat bahunya naik turun saking kerasnya. Air matanya hanya mengalir perlahan dan konstan. Perih rasanya Reza menyaksikan ini semua.
Mungkin memang sampai kapan pun, bagi mereka foto USG itu akan menjadi kenangan indah dan kenangan buruk dalam waktu yang bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
metanoia
Romancethe journey of changing one's mind, heart, self, or way of life. an ejastories 2.0 || updates once a week