"Got all your things, babe?" Reza mengecek istrinya dan menghentikan langkahnya sejenak setelah mengambil kunci mobil dari gantungan kayu di samping pintu apartemen mereka.
"Iya Za, bentar tadi aku lupa nyimpen pashmina aku dimana ya? Dingin soalnya tempat tunggu dokternya.." Aina masih mondar-mandir dari kamar ke ruang tamu kemudian balik lagi ke kamar. Reza hanya tersenyum melihat kelakuan istrinya yang kelihatan nervous itu.
"Na.." katanya sambil merangkul istrinya dan berkata lembut, "kan tadi kamu yang minta tolong aku bawa pashminanya? Ini udah di dalem tas, barengan sama bekel minum yang tadi siang udah kamu siapin, sayaang."
"eh iya ya! Aku lupa Zaaa hehehe" Aina tersenyum malu, kemudian membalas rangkulan suaminya sehingga kepalanya terbenam di lengannya Reza. "abisnya aku deg-degan.."
"Jangan gitu dong, aku kan juga jadi deg-degan ah kamu nih." Mereka bicara sambil keluar kamar dan menuju mobil. "Kita berdoa aja ya, semoga hasilnya memang yang terbaik, yang kita pengenin jadi kenyataan." Ujar Reza, mengecup kening istrinya yang lagi-lagi tersipu malu, dan membukakan pintu kursi penumpang mobilnya dengan membungkuk formal. "Silakan, nyonya.."
Aina menggeleng sambil tertawa, kemudian menghadiahkan satu kecupan di pipi suaminya sebelum masuk mobil. Sudah sekian tahun bersama pun, Rezanya ini tetap memiliki cara untuk membuatnya tersenyum walaupun hatinya sedang nggak karuan. Karena hari ini, saatnya pasangan muda ini memeriksakan kehamilan Aina untuk USG yang pertama kalinya ke dokter. Reza sampai meminta izin agar pulang duluan dari kantornya, namanya juga untuk keluarga.
-
"Ibu Aina Zahran, tadi pagi sudah cek darah kan? Hasilnya dibawa, bu?" Suster di bagian pendaftaran mengingatkan mereka mengenai prosedur yang biasa dilakukan dalam check-up di klinik tersebut.
"Sudah dibawa sus, jadi saya dapat antrian ke berapa ya? Dokternya sudah datang?"
"sudah, tunggu 2 giliran lagi ya bu. Silakan bapak ibu tunggu di sebelah sana." Susternya menunjuk ke ruang tunggu yang berisikan beberapa kursi panjang yang cukup nyaman. Disana sudah ada beberapa pasien yang menunggu. Ada pasangan muda dengan baby bump yang masih kecil, ada juga ibu yang sudah hamil besar membawa anak balita. Reza dan Aina duduk di tempat kosong terdekat, berpegangan tangan. Mereka sama-sama diam karena sama tegangnya.
"Tadi pagi kamu nangis nggak, Na? Waktu ambil darah?" tanya Reza tengil, menggoda istrinya yang seringkali takut disuntik.
"Nggak kok! Aku kan udah nggak begitu takut Za, sekarang. Emangnya kamu, sengaja kan sok-sok ke kantor dulu supaya nggak lihat aku ditusuk-tusuk?" Aina membalas sambil tertawa.
"Hmm, macem-macem ya kamu Na. Aku kan lagi cari nafkah, beresin sisa laporan kemarin supaya bisa pulang cepet nemenin ka-"
"Ibu Aina Zahran!"
Baik Reza maupun Aina yang tadinya sudah mulai lega, sekarang kembali terdiam saat giliran Aina tiba. Keduanya mengeratkan pegangan tangan, seolah mencari kekuatan yang hanya mereka dapatkan dari bagaimana jari mereka bertautan. Aina mendengar suaminya melafalkan lirih "Bismillah.." ketika mulai masuk ke ruang dokter.
Ruang Dokter Arini cukup nyaman, beliau adalah wanita paruh baya yang masih terlihat segar. Dokter Arini menyapa mereka ramah, dan mempersilakan duduk.
"Ibu Aina dan Pak Reza ya, kok tegang begitu sih? Saya belum ngapa-ngapain loh." Candanya. Aina dan Reza tersenyum mendengarnya. Setelah Aina positif hamil kemarin, mereka baru cek ke dokter yang ada di dekat rumah mereka. Saat ini mereka pindah ke dokter Arini yang merupakan rekomendasi tantenya Aina. Sepertinya mereka memilih dokter yang tepat. "Apa yang bisa saya bantu?"
"Eh.." Aina berdeham dan melanjutkan, "ini Dok.. saya baru tes kehamilan dan hasilnya positif, kemarin katanya baru 2 minggu jadi belum USG.. sekarang kami mau periksa.."
"Saya boleh lihat bu hasil labnya?"
Dokter Arini tidak berekspresi maupun berbicara apa-apa ketika membuka hasil lab yang berisikan angka dan istilah-istilah yang Aina sempat intip itu. Dalam hati, Aina bilang "Kenapa misterius begitu sih.."
Setelah tanya jawab lebih lanjut, dokter Arini tiba-tiba berdiri. "Bu Aina ikut saya yuk, baring dulu disini.. kita cek USG ya."
Aina langsung menengok ke arah suaminya dengan tatapan yang-menurut Reza-sangat bisa terbaca, seperti ada tulisan "Temenin aku" di jidatnya. Ia hanya tertawa dan mengikuti Aina, memegangi tangannya saat Aina diperiksa dengan alat yang sebelumnya membuatnya melotot dulu itu.
"Pak Reza, Bu Aina, selamat ya. Dari hasil USG dan haid terakhir, bu Aina sedang mengandung 5 minggu."
Tidak pernah rasanya Aina merasa selega itu, ia dan Reza langsung mengucap syukur, diikuti dengan dokter Arini yang menjelaskan apa yang berada di layar. Janinnya memang belum terlihat, tapi sudah terlihat bagian hitam sebagai tempat untuk janin tersebut berkembang.
"Seperti yang mungkin ibu dan bapak sudah tahu, kehamilan awal ini cukup rawan ya, jadi tolong ibu Aina dijaga kondisinya, morning sickness itu wajar, tapi kalau sampai berlebihan dan nggak bisa makan ya segera kontrol."
Reza, being the usual Reza, menanyakan sederet pertanyaan mengenai mitos ataupun fakta tentang kehamilan. Aina disebelahnya setengah malu karena banyak tanya tapi setengah gemas, suaminya ini excited sekali.
-
"Zaa." panggil Aina sesampainya mereka di mobil. "Aku pingin makan seafood." Katanya sambil memainkan foto USG yang barusan diberikan dokter Arini.
Reza tertawa sambil menggelengkan kepalanya, "ada apa nih? Kok tiba-tiba? Tadi katanya kamu udah masak di rumah biar langsung pulang abis kontrol?"
"Nggak tahu deh Za, tapi kok aku kepengen ya tiba-tiba?"
"Wah parah nih. Ngidam ya kamu? Tadi kan kata dokter ngidam tuh nggak selalu..." Reza berhenti nyerocos dengan ke'ilmiah'annya, karena Aina sekarang memandang mukanya lekat-lekat.
"Please..?"
Siapa yang tega, melihat istrinya begini gemasnya?
"iya deh iyaa. kita makan dulu seafood di tempat biasa ya."
Mungkin ini rasanya, pikir Reza, mulai meladeni istrinya yang suka tiba-tiba ngidam. Diam-diam Reza mencuri pandang istrinya yang sedang kegirangan berkali-kali memandangi foto USG calon anak mereka. Kemudian Reza ingat sebelumnya sudah diwanti-wanti sama papanya, kamu harus makin sabar, makin sayang sama istri. Sekarang tanggung jawab kamu bertambah, perjalanan kamu makin terjal, mulai masuk ke fase pernikahan yang sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
metanoia
Romancethe journey of changing one's mind, heart, self, or way of life. an ejastories 2.0 || updates once a week