2

2.6K 481 86
                                    

Reza

Gue mungkin adalah satu dari sekian banyak orang yang sangsi terhadap perubahan. Bukan perubahan menuju ke arah yang lebih baik, bukan. Tapi perubahan akan suatu hal yang sudah terlalu biasa untuk dilewati. Suatu hal yang membuat kita nyaman, sampai rasanya susah adaptasi apabila hal itu berubah.

Time files. People changes. Dan itu sudah sangat lumrah.

Orang di sekitar kita memang pasti berubah. Seiring bertambahnya usia kah, atau banyaknya pengalaman hidup yang dijadikan cermin untuk bersikap, atau hal-hal lain yang mereka pilih sebagai alasan untuk berubah. Toh pasti selalu ada alasan yang logis di balik itu semua.

She changes as well. The one and only wife I have, changes. Tapi dirinya setelah berubah yang rasanya sulit untuk gue beradaptasi.

"Aku mau sushi, kita pergi yuk sebentar atau delivery aja."

"Hari ini kamu pulang cepet dong, aku nggak ke butik nih masa kamu tega ngebiarin aku sendiri di apartemen."

"Hai, aku bawain makan siang buat kamu!"

Man, gue rindu istri gue yang ceria dengan segala rengekan dan kejutannya itu.

Gue nggak menyalahkan Aina. Dia punya berbagai alasan untuk sedih, untuk hilang harapan, untuk galau. Karena gue pun, sedih atas kejadian itu. Tapi efek sedihnya lebih parah untuk dia. Dia, yang memegang beban harapan dari orang di sekitar kami.

Segala cara udah gue coba. Dari mulai ngajak dia main seharian, keliling mal dari lantai dasar sampai lantai 3, off kerja demi nemenin dia movie or drama marathon. Skala berhasilnya memang 80%. Tapi itu hanya berlaku di saat itu aja. Besoknya dan besok besok lagi, dia kembali jadi orang lain.

Gue ngerti dia butuh waktu. Kami butuh waktu. Karena bagaimana pun, kejadian itu bukanlah kejadian yang bisa gitu aja dilupain. Bukan kaya nonton film sedih terus lo nangis dari pas nonton di bioskop sampe keluar. Efek yang ini, agak lebih panjang dan terus membekas di hati dan pikiran.
Ini kenyataan. Kenyataan yang kalau boleh milih, mending nggak menimpa kami.

"Ibu hari ini cuma makan sedikit, pak. Itu pun pas siang aja. Waktu saya tawarin makan malam, ibunya nolak. Maunya minum air putih aja." Malam itu, gue niat jemput Aina di butiknya tapi ternyata dia udah pulang. Seperti biasa Ririn ngasih laporan ke gue setiap gue kesana. Memastikan gue kalau Aina baik-baik aja selama di butik. Ririn pun berharap bisa ngasih kabar yang membahagiakan ke gue seperti 'Ibu hari ini ketawa terus, pak' atau 'Ibu udah kembali kaya dulu'. Gue tau itu. Kita semua, orang-orang yang sayang sama Aina, berharap demikian. Tapi nyatanya kabar yang gue dapet hampir selalu sama.

Kesedihannya ternyata mempengaruhi pola makannya. Dan gue khawatir. Biasanya, istri gue itu paling nggak bisa liat makanan yang dia makan, ada sisa. Dia selalu makan sesuai porsi yang pas, yang dia yakin bisa dihabiskan. Atau bahkan, tambah porsi sedikit. Gue sempet mikir Aina itu agak mirip Esa kalau soal makan. Sama-sama nggak pernah nolak.

Pas gue sampe di apartemen, kekhawatiran gue bertambah. Ngeliat dia duduk di balkon, hanya berbalut piyama tipis, yang mana malam itu angin lagi kenceng banget. Dia nggak makan malem, pas siang cuma makan sedikit, dan sekarang lagi pasrah kena angin malem.

"Nanti, Za. Aku masih mau disini." Tolaknya pas gue ngajak dia masuk. Gue yang nggak bisa maksa dia, nggak punya pilihan lain selain nemenin dia yang sebenernya gue yakin nggak mau gue temenin.

"There's still a hope, dear. Don't lose it. Kita masih bisa coba lagi." Lagi-lagi gue meyakinkan Aina kalau kesempatan itu masih ada. Kalau usaha tidak akan menyalahi hasil. Kalau Tuhan sangat mencintai hambanya yang berusaha.

Aina menyandarkan kepalanya ke pundak gue. Dan gue bisa liat dia menghapus cepat air matanya yang sempet jatuh beberapa tetes. Gue mengeratkan rangkulan gue ke dia. Walaupun kami berdua merasakan kesedihan yang sama, gue harus lebih kuat.

Demi istri gue. Demi kami.

metanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang