Reza
Aina adalah satu-satunya wanita yang dari dulu, sejak bertahun-tahun lalu, sudah gue yakini sebagai wanita yang tercipta untuk melengkapi tulang rusuk gue. Aina yang paling sabar dan paling pengertian meskipun menghadapi kebrengsekan gue pada masa kelam itu. Aina yang tegar dan kuat sekali ketika gue tidak selalu ada di sampingnya. Aina yang tidak pernah menuntut macam-macam, selalu menyambut gue dengan bahagia meski quality time-nya tidak sebanyak pasangan-pasangan lain.
Kami tidak seperti Arsen dan Anin, walaupun pekerjaan kami bisa dibilang sebidang namun tidak mendapat kesempatan bekerja bersama. Gue nggak seperti Bagas, yang bisa setiap saat membuat dan mencuri segala waktu kosong untuk sekedar makan siang bersama atau mengantar pulang ke rumah. Dan jelas kami nggak seperti Adit dan Nabila, berkesempatan untuk made up all the time that has been lost dengan belajar bersama di negeri orang, as if the world has been theirs and theirs only. Yang lain numpang selonjoran terus pergi lagi, ngontrak aja enggak. Mereka semua—despite the fact that they are still unmarried—sudah bisa memprioritaskan pasangan mereka dengan sangat baik dalam hidupnya.
And looking back, gue belum bisa membahagiakan Aina semaksimal itu.
*Orang bilang, pasangan yang sudah memutuskan untuk menikah itu ada saja cobaannya. They said it was meant for the bond to get stronger. Tapi kita kan juga manusia yang punya keraguan, yang dalam larut pikirannya akan sangat wajar jika berkata, keputusan saya tepat atau tidak unutk melanjutkan ini? Apakah cobaan-cobaan ini ditujukan untuk menguji kita atau justru membuka mata kita akan ketidakcocokan kita selama ini? Are we already living in the brightest light, or in a mere shadow of a sunrise?
Selama 8 tahun gue pacaran dengan Aina dan saling mengenalkan pada keluarga, semuanya mulus-mulus saja. Hampir tidak ada satupun keluarga yang protes atau tidak setuju dengan hubungan kami. Pujian terlontar dari hampir semuanya. Para orangtua bilang Aina baik, menantu idaman, keponakan-keponakan lebih nempel sama Aina daripada sama omnya sendiri, and so on. So why of all times, keragu-raguan malah melanda ketika kita tinggal sejengkal lagi dari pernikahan?
Hari itu sekitar 4 bulan setelah gue melamar Aina unofficially, dan kami sedang kumpul di rumah gue untuk makan-makan acara arisan keluarga. Hari itu pertama kalinya Aina gue kenalkan sebagai calon istri, karena kamipun sedang merencanakan lamaran dalam beberapa bulan ke depan. Hampir semua menyambut dengan antusias, beberapa bahkan bilang “yah emang udah waktunya kan Ja?” karena sudah merasa tidak aneh lagi, serta ucapan selamat dan doa bahagia datang dari hampir seluruh penjuru ruangan.
Kecuali saat itu, saat gue sedang mengambil makanan, meninggalkan Aina untuk mengobrol dengan sepupu-sepupu gue. Toh dia sudah lama akrab dan sudah puluhan kali dibawa ke acara keluarga seperti ini, dan gue percaya si cantik itu akan baik-baik saja. Tapi siapa yang tahu kalau ternyata posisi gue yang kurang baik-baik saja ketika kakak tertua mama, Tante Diana, menghampiri gue untuk mengajak berbicara.
”Eja,” sapa tante Diana dengan suara khasnya yang tegas dan tersusun teratur. “tante sudah dengar dari mama, kamu mau nikah ya.”
“insya Allah tante, semoga semuanya lancar.”
“sama Aina, ya?” tante Diana berbicara sambil mengadukkan sendok kecil dalam cangkir teh panasnya, “Kamu sudah yakin betul?”
Gue yang saat itu tidak menyangka akan ada pembicaraan todongan seperti ini, jadi agak bingung, “Yakin dong tante, kalo nggak kan nggak Eja lamar hehehe.”
KAMU SEDANG MEMBACA
metanoia
Romancethe journey of changing one's mind, heart, self, or way of life. an ejastories 2.0 || updates once a week