10

2.1K 356 31
                                    

"Na?" Reza yang melihat istrinya sedang terduduk lemas di lantai langsung menghampiri. "Kamu kenapa sayang?"

Aina tidak menjawab pertanyaan Reza. Ia hanya tetap menunduk, tidak sanggup mengeluarkan kata apapun dari bibirnya. Reza membereskan isi dompet Aina yang berserakan di lantai, lalu kembali memerhatikan istrinya yang sedang memegang sebuah foto usg.

Aina hanya bisa mengangkat foto itu dengan lemah ke arah Reza. Reza mengambil foto tersebut, menghela napas selagi melihat foto itu lebih jelas. Lalu Reza mengalihkan pandangannya kepada Aina, yang sedang berusaha keras menahan air matanya agar tidak terjatuh.

***

Aina menikmati masa-masa awal kehamilannya, semua prosesnya. Seperti dilanda rasa mual muntah seperti ibu-ibu hamil muda lainnya, atau tiba-tiba sangat sensitif terhadap bau parfumnya sendiri, dan masih lumayan banyak ketidaknyamanan lainnya. Namun mungkin karena bakat bersabarnya tinggi, ia tidak banyak mengeluh. Puncaknya bisa diperkirakan setelah USG kedua dengan dokter Arini. Setelah itu Aina bisa dibilang tidak bisa makan enak lagi. Ingin makan enak bagaimana, kalau kerjaan Aina hanya mual dan muntah terus? Tidak hanya berat di pagi hari seperti yang orang-orang di sekitar Aina bilang. Hampir seharian penuh rasanya Aina harus berkutat bolak-balik kamar mandi.

Makan sedikit-sedikit tapi sering? Sudah ia lakukan. Menghindari yang baunya terlalu kuat? Sudah juga. Kalau sudah lelah habis muntah setelah makan, Aina hanya diam saja. Menganggap semua ini adalah perjuangan demi merawat sebuah amanah yang dititipkan Tuhan kepadanya dan Reza. Jadi, sebisa mungkin Aina tidak akan mengeluh. Seperti malam ini, ia terduduk di sofa sambil minum air hangat, asyik melihat suaminya yang justru malah lebih stres.

"Na.. aku mending kamu ngidam yang aneh-aneh deh, daripada makanan kamu keluar terus gini?" Reza duduk di sebelah Aina setelah mondar-mandir di depannya, membuatkan teh manis hangat, lalu mengusap-usap dahi kesayangannya itu. Malam itu Reza pulang dengan wajah yang lelah karena setumpuk pekerjaan, namun langsung panik begitu mendengar istrinya yang sedang muntah di kamar mandi.

"Aku nggak apa-apa, Za. Tadi aku udah ada yang masuk kok, kan banyak ngemil kayak saran dokter." Aina menyandarkan kepalanya ke bahu Reza, menikmati kepalanya yang sedang diusap-usap itu.

"Kamu lagi pengen sesuatu nggak? Bilang sama aku."

"Nggak kok, lagi nggak pengen apa-apa."

"Capek ya sayang? Lemes? Kamu mau rebahan dulu?" Reza memegang wajah Aina, melihatnya dengan seksama dan terlihat jelas kalau istrinya itu agak sedikit pucat.

"Rebahan boleh deh. Tapi nanti aja, Za, kamu jangan kemana-mana dulu, sini aja." Kata Aina sambil melingkarkan lengannya ke lengan Reza. Kalau tidak ingat Aina sedang lemas begini, Reza sudah gemas ingin membercandai istrinya itu lebih lanjut. "Za, aku emang lemes dan mual terus, tapi aku seneng kok, itu bagian dari perjuangan kita, kan?" Aina mengangkat kepalanya, menemui tatapan mata Reza yang menatapnya kembali dengan bangga.

"Iya sayang. Kalau kamu capek, ngeluh aja ya? So we can share our burden."

Aina berpikir, what did I do to deserve an understanding husband like him?

*

Siang itu, Reza baru saja selesai meeting di kantornya saat ponselnya berdering. Ketika dilihat siapa yang menghubunginya di tengah hari, Reza tersenyum. Itu Aina.

"Za.." ucap Aina langsung saat Reza mengangkat telepon.

"Kenapa sayang? Kamu udah makan?"

Suara Aina mengecil dan ragu ketika menjawab. "Za, aku kok.. berdarah ya?"

Reza langsung berhenti berpikir. Pikiran tentang berbagi cerita di siang hari dengan istrinya lenyap begitu saja. Senyuman di wajahnya pun hilang. Ia tahu dari nada suara Aina, maksudnya Aina sedang berdarah, dari kandungannya. "Kamu sekarang dimana? Kita langsung bawa ke UGD tempat dokter Arini aja ya. Aku jemput kamu sekarang, kamu masih sama Lea?"

metanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang