Aina merubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Kemudian miring kanan, perlahan memejamkan matanya yang tetap saja kembali terbuka. Rasanya ada yang salah. Entah udaranya, entah selimutnya, entah kasurnya, entah hatinya. Whatever the reason is, she keeps on tossing and turning for about 3 hours now. Saat ini sudah pukul 2.30. Akhirnya karena lelah sendiri, ia memutuskan untuk beranjak ke dapur untuk membuat susu hangat. Ia perlahan melepaskan lengan Reza yang sebelumnya memeluk pinggangnya, karena ia ingat tadi saat Reza pulang kantor, mukanya kusut sekali.
"Assalaamualaikum, Na?"
"Waalaikumsalam. Aku di dapur!" jawab Aina atas pertanyaan suaminya yang begitu pulang langsung mencarinya itu. "Capek, sayang?" Aina membantu melepaskan dasi Reza setelah terlebih dahulu mencium tangan suaminya yang baru masuk rumah itu.
"Gitulah Na, biasa bulan-bulan gini," Kata Reza, "Otak aku pengen meledak rasanya."
"Mau makan dulu atau langsung mandi? Baju gantinya di kasur barusan udah aku siapin ya."
"Mandi dulu aja deh. Makasih ya, istri." Reza pun pergi ke kamar mandi setelah sebelumnya mengecup bibir Aina sekilas. Aina tersenyum karena soft gesture suaminya itu dan kembali membereskan meja makan.
Setelah berhasil melepaskan diri dari lengan Reza, ia membetulkan selimut dan mengelus kepalanya. Biarkan suaminya itu tetap tidur nyenyak setelah lelah seharian, tidak usah diambil lagi malam harinya untuk mengasuh ataupun menghibur Aina yang sedang galau. Aina duduk di kursi tinggi dapur sambil menyeruput susu hangat yang dibuatnya. Meskipun sudah ada niatan dan sudah ada turning point, tetap saja ada bagian hati Aina yang tidak tenang menghadapi esok hari. Ini mungkin mengapa ia membutuhkan sedikit me time di malam hari yang berawan ini untuk menyegarkan pikirannya. Everything's gonna be okay, everything's gonna be okay, ulangnya untuk menenangkan hatinya.
Tapi, si jahat 'what if' masih bermunculan. Bagaimana kalau hasilnya..? Bagaimana kalau ada hal..? Aina bergidik sendiri tidak sanggup membayangkannya. Pikiran manusia pada jam-jam tengah malam seperti ini memang seringkali kacau. Antara memberi ketenangan atau menambah kegundahan. Despite everything, Aina merasa ada yang berubah pada dirinya kali ini. Meskipun tetap tegang, membuatnya sulit tidur, dan masih banyak pikiran negatif lainnya yang bersarang di otaknya, kali ini ia sudah yakin penuh bahwa apapun keputusannya, Tuhan sudah mengatur takdir terbaik untuknya, Reza, dan keluarga kecilnya.
Aina terbangun dalam keadaan berselimut lengkap di kasur. Seingatnya, terakhir ia masih duduk meluruskan kaki di sofa setelah menghabiskan susu hangatnya.
"Subuh dulu Na?"
Aina menengok ke sebelah kiri tempat tidurnya dan mendapati Reza dengan sarung di pundaknya, baru saja pulang dari masjid. Sejak dahulu, secapek apapun Reza tetap berusaha shubuh di masjid. Aina yang masih mengantuk berusaha duduk dan langsung menempelkan kepalanya ke pundak Reza.
"Kamu kok nggak bangunin aku sih kalau nggak bisa tidur?" suara rendah Reza terdengar dekat dengan telinga Aina, sambil mengelus pundaknya. "kamu udah nggak apa-apa kan sekarang?"
"Aku nggak tega lah Za." Aina bergumam setengah tidur, "Kan kamu kemarin bilang otaknya mau meledak.."
"Baik banget sih bu Reza ini." Reza tertawa kecil dan mengecup puncak kepala Aina, "Nanti tidur lagi aja ya, kan janji dokternya sore."
Aina mengangguk.
*
"..kamu sekarang udah dimana Nak?" suara lembut mama Kania, mamanya Aina, menyambut anaknya di telepon.
"baru cek lab ma, sekarang kita mau antri dokternya." Jawab Aina, "Aina deg-degan ma.."
"Wajar nak, yang penting kamu kan lagi usaha sekarang, harus dihadapi."
KAMU SEDANG MEMBACA
metanoia
Romancethe journey of changing one's mind, heart, self, or way of life. an ejastories 2.0 || updates once a week