Reza
"Istri lo gimana, Za?" Rehan, temen kantor gue tiba-tiba nanya pas kita lagi makan siang di kantin kantor.
"Baik-baik aja alhamdulillah, Han."
Rehan berhenti menyantap makan siangnya terus ngeliat gue. "You know I was asking about that, don't you?"
"Hhh," gue jadi ikutan berhenti makan. Menghela napas gue karena gue sebenernya tau betul apa yang sebenernya Rehan tanyakan. "Dia berusaha buat baik-baik aja. Biar gue tenang kayanya."
"Gue ngerti sih, Za. Apa yang kalian lewatkan itu nggak gampang untuk diterima dengan lapang dada ya sebenarnya. Apalagi buat Aina. Gimana pun dia calon ibu, yang ngerasa langsung, yang kena dampaknya langsung."
"Iya emang. She's been through hell, Han." Gue termenung. Membayangkan bagaimana sedihnya Aina menanggung beban mental ini sendirian. Gue pun merasakan, tapi pasti yang dia rasain jauh lebih parah dari gue. Dan mengingat gue nggak bisa berbuat apa-apa selain support dia terus, gue sering mengutuk diri gue sendiri. Seandainya ada kekuatan magis yang bisa memindahkan rasa sedihnya ke gue, gue rela.
"But you need to keep her happy loh, Za. Sepengetahuan gue, calon ibu yang punya kasus sama kaya Aina harus dijaga perasaannya ya? Biar nggak stress, biar hormonnya nggak jelek. Karena hormon itu yang memegang peran penting, kan ya, buat adanya kabar baik atau buruk nantinya?"
"Yes, dokter juga bilang begitu."
"Lo yang sabar ya, Za. Nggak gampang emang. Tapi ini semua bisa kalian jadikan alasan buat mempererat hubungan kalian. I know you both can get through this kok." Rehan menepuk pundak gue dua kali. "Semangat bro! Bismillah."
*****
Pagi itu gue duduk di balkon ditemani dengan secangkir kopi hangat dan udara pagi yang masih segar. Kapan lagi udara pagi Jakarta bisa begini ademnya setiap weekend. Lalu lalang kendaraan nggak sepenuh pas hari kerja. Mungkin hanya satu dua yang lewat setiap dua menit. Dan gue nggak mau melewatkan momen itu.
Gue lagi berdiskusi dengan pikiran gue sendiri. Lagi mencari ide-ide bagus di setiap celah otak gue ini. Ide buat apa? Buat bikin Aina bahagia lagi. Ya mungkin dia sekarang bahagia. Tapi yang gue liat malah dia berpura-pura begitu demi gue tenang.
Gue pengen Aina balik jadi dirinya seperti semula. Gue butuh Aina yang dulu.
Gue udah muter otak gue sedemikian rupa tapi yang gue temuin malah jalan buntu. Gue nggak tau lagi harus gimana biar dia nggak harus pura-pura, nggak harus menyembunyikan perasaan dia yang sebenarnya for the sake of people around her. Padahal gue tau, deep down, dia hancur. Gue juga.
"Morning," istri gue udah bangun rupanya. Suaranya adem banget. Cantiknya nggak luntur walaupun baru bangun tidur. Dia ngelus pundak gue terus duduk di samping gue. "Lagi apa kamu pagi begini disini? Tumben."
"Nunggu kamu bangun."
"Ini aku udah bangun." Aina menggeser posisi duduknya jadi persis di sebelah gue sampai bahu kami bersentuhan. "Kamu lagi mikir apa, sayang?"
Gue sempet kaget, sebenernya. Gue kira ini mimpi. Aina yang ini yang gue rindu, yang lembut dan romantis.
"Nggak kok," gue senyum. "Wedding di Bogor kemarin gimana? Lancar?"
"Alhamdulillah. Lea sama Tara kan planner handal banget. Jadi bisa diandelin. Aku kan jarang check on the spot gitu, eh pas kesana buat last check H-1 bagus banget emang. Dekornya, penataan ruang dan tetek bengeknya. Aku tanya schedule gimana pun rapi banget."
"Bagus deh, alhamdulillah. Terus mereka suka gaun yang kamu bikin?"
"Suka banget. Pas meeting pertama aku liatin desain langsung dipilih. Padahal aku udah nyiapin beberapa buat jadi option. Seneng deh!" mata dia berbinar-binar menceritakan semua. "Eh iya, Za, kamu kok udah lama nggak ke Singapura?"
"Ngapain?"
"Buat monthly check gedung yang waktu itu kamu garap. Emang udah nggak perlu?" hebat betul emang istri gue ini. Masih aja inget apa yang pernah gue sampein dulu banget.
"Masih, sayang. Tapi nggak harus selalu aku sih. Kata Pak Pandu, kalo aku yang kesana, orang manajemen di gedung itu ngerasa kaya kedatangan bos besar." Gue ketawa inget omongan Pak Pandu soal orang sana yang sering ngerasa takut setiap gue dateng. Katanya gue sangat detail oriented dan teliti, jadi mereka suka khawatir ada yang kelewat.
"Suami aku ini emang ya," Aina ikut ketawa. "Jangan galak-galak dong, ah. Kasian kan mereka. Padahal kamu ramah banget ya."
"I am."
"Jadi, apa yang kamu pikirin sebenernya? Ini daritadi kamu mengalihkan pembicaraan kan?" Wow. Gue selalu amazed sama kemampuan para istri untuk membaca pikiran.
"Na," posisi gue sekarang menghadap dia sepenuhnya. "Gimana kalau kita liburan?"
"Liburan? Kemana?" Aina tiba-tiba jadi semangat.
"Iya liburan. Kemana aja, yang jauh juga nggak apa-apa. Mau nggak?"
"Terus kerjaan kamu gimana?" Aina keliatan khawatir.
"Bisa diatur itu gampang. Kamu lagi nggak ada urgent wedding kan? Nanti aku bilang sama Lea deh."
"Nggak ada sih," lalu Aina diam. Gue liat dia kaya lagi mikir sesuatu. "Kita kemana ya aduh aku bingung."
"Kamu lagi pengen kemana? Pasti kan bosen disini terus. Malaysia? Kan kamu pengen ke Legoland katanya. Atau Jepang? Hongkong?"
"Jepang yuuuk!" jawab Aina setelah dia berpikir agak lama. Jawabnya sambil narik-narik tangan gue semangat banget. Gemes.
"Sure! Jepang it is then!"
KAMU SEDANG MEMBACA
metanoia
Romancethe journey of changing one's mind, heart, self, or way of life. an ejastories 2.0 || updates once a week