24. Tangisan

348 129 14
                                    

Even the darkness night will end,
The sun will rise.
~Unknown~

Happy reading :)

----------

Suasana keramaian di depan kelas membuat Revan membuang napas kesal. Berita pernyataan cinta Camila telah tersebar luas dengan cepat bagaikan virus yang merajalela. Beberapa teman sekelasnya bahkan memberikan Revan dukungan dan semangat. Revan benar-benar bingung harus berbuat apa.

"Van, lo jadi terkenal bro!" celetuk Vero, teman sebangkunya. Ia menepuk bahu Revan pelan. "Lo kayaknya bakal ditonton satu sekolahan."

"Berisik lo!" balas Revan jutek seraya memutar kedua bola matanya. "Gue gak peduli soal pernyataan cinta konyol Camila. Ngerti?"

"Tapi, lo seriusan mau nolak Camila? Dia cakep, Van! Buka mata lo! Mukanya manis, kulit mulus, body mantep, dadanya.....-"

"Diem atau gue tampol!"

Vero tertawa kecil. "Kalo gue jadi lo, gue gak perlu repot-repot mikir deh. Langsung aja gue terima tuh cewek dengan senang hati."

"Ver, lo harus bisa menilai cewek jangan dari luarnya aja. Penampilan bisa bikin lo tertipu. Percuma cantik kalau gak ada akhlak!"

"Wes wes wes, cewek cantik tuh jarang nongol! Selagi ada di depan mata, mendingan langsung gas aja. Masalah akhlak mah bisa diperbaikin, santuy!" Vero memberikan masukan dan langsung dihadiahi pukulan kencang tepat di bahu oleh Revan.

"Lo pikir sifat bisa diperbaikin di tukang service hp, hah?!"

"Santai, bro!" Vero tertawa cekikikan, lalu kembali bersuara. "Tapi serius deh, sebagai sesama cowok, emangnya lo gak tertarik sama Camila?"

Revan diam sambil menatap Vero dengan ekspresi heran.

"Gini maksud gue, lo tahu kan apa isi otak cowok kalau lihat cewek langsing, cakep, dada berisi, rambut panjang, kaya raya, dan cewek itu naksir sama lo?!" Vero memandang Revan tidak mengerti. "Dia bahkan berani mau menyatakan perasaannya ke lo!"

Revan lagi-lagi memutar kedua bola matanya malas. "Ver, gue perlu bilang berapa kali sih ke lo? Gue gak menilai cewek dari penampilan. Apalagi si Camila, yang isi otaknya cuma uang doang."

Vero hanya menggeleng-geleng. "Terserah lo, deh!"

Revan bangkit berdiri dan berjalan keluar kelas. Meninggalkan Vero yang menatap kepergian Revan dengan gelengan kepala. Tentu saja, Revan tidak ingin berada di kelas. Revan ingin menghindari Camila dan berniat untuk kabur. Jika Camila datang ke kelasnya, ia pasti tidak akan menemukan kehadirannya di kelas.

Revan berusaha semaksimal mungkin untuk menerobos keramaian siswa yang sedang menunggu aksi Camila menyatakan cinta. Beberapa orang menatap kepergian Revan dengan kecewa, bahkan ada yang mencoba menahan Revan agar tidak pergi. Beruntung Revan memiliki postur badan kekar dan kuat, sehingga ia mampu melawan gerombolan orang yang ingin mencegahnya pergi.

Setelah berperang singkat melawan sekumpulan orang-orang di dekat kelasnya, akhirnya Revan tiba di lorong sekolah yang sepi. Revan membuang napas panjang. Merasa lelah melawan orang-orang yang berusaha menghentikannya. Revan berjalan mengitari lorong sekolah sembari menunduk. Pikirannya tertuju kepada Camila.

Revan yakin, sifat Camila mirip sekali dengan ibunya. Ibu Revan selalu cinta uang dan mengutamakan uang di atas segalanya. Revan selalu diacuhkan sejak kecil. Demi uang, bahkan Ibu Revan seringkali meninggalkannya dan tidak memperdulikan keberadaannya. Revan sejak kecil merasa kesepian. Tidak pernah merasakan indahnya kasih sayang tulus dari seorang ibu.

Camila memang perempuan cantik, bahkan sangat manis di mata Revan. Namun, tingkahnya yang cinta uang selalu mengingatkannya pada sosok ibu jahat yang sering meninggalkannya. Kehadiran Camila selalu membuatnya teringat akan perbuatan ibunya. Revan saat kecil seringkali menangis dalam diam. Ingin sekali rasanya dicintai oleh sang ibu dengan hati tulus.

Kesedihan yang dialaminya langsung pudar saat Revan bertemu dengan Albert. Albert selalu setia berada di sampingnya sejak sekolah dasar. Albert adalah jiwa penyemangat dan sumber senyuman yang selama ini hilang di bibirnya. Revan sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Albert.

BRAKK!!!

Karena asik melamun, Revan tidak sengaja menabrak seorang siswi. Gadis yang sedang membawa kue itu terjatuh. Beruntung kue yang dibawanya masih terbungkus, sehingga kue itu selamat dari kotoran. Revan mengulurkan tangannya untuk menolong sang gadis bangkit berdiri. Namun, pada saat itu juga ia terkejut. "Camila?"

Camila menatap uluran tangan Revan sambil menggeleng. Camila berusaha bangkit berdiri tanpa bantuan Revan. Gadis itu mengusap matanya yang penuh air mata dan menatap Revan lekat. "Kak, maaf. Aku gak sengaja nabrak kakak."

Revan terkejut melihat penampilan Camila yang berantakan. Matanya bengkak dan sembab. Camila pasti sedang dilanda kesedihan. "Camila, lo kenapa nangis?"

"Enggak kak, aku gakpapa." Camila mengelap air matanya sambil tersenyum. Revan tahu, senyuman itu hanya palsu. "Aku duluan kak!"

Camila beranjak pergi meninggalkan Revan. Namun, Revan segera menghentikkan langkah Camila. "La, kue lo ketinggalan!"

Camila berbalik dan menatap Revan. Ia kembali berjalan menghampiri Revan dan langsung menghamburkan pelukan. Camila menangis terisak di dada bidang Revan. Meluapkan seluruh rasa sakit yang kini menggores hatinya begitu dalam.

Revan membalas pelukan Camila. Entah apa yang merasukinya, Revan memeluk Camila dengan erat. Pria itu mengusap-usap punggung Camila untuk menenangkannya. Tangannya mulai membelai rambut panjang Camila yang terasa halus dan wangi. "Sshh, udah jangan nangis lagi."

Camila spontan melepas pelukannya dengan Revan. Camila seketika sadar akan tindakannya yang salah. Camila menatap Revan dengan mata sembab. Revan mengelap air mata Camila dengan jemarinya dan memandang Camila lekat. Perbuatan manis Revan membuat badan Camila mematung kaku. "Perasaan lo udah mendingan?"

Camila mengangguk perlahan, lalu berusaha menampilkan senyuman. Camila mengambil kue yang terjatuh dan menyerahkannya kepada Revan. "Kak, kue ini sebenarnya untuk Kak Revan. Kue ini hasil buatan gue sendiri. Tolong diterima ya, kak!"

Revan mengambil kue dari tangan Camila sambil mengangguk kecil. "Makasih."

"Gue duluan, kak!" Camila berkata sambil melangkah pergi meninggalkan Revan.

Revan terdiam menatap kepergian Camila. Otaknya seketika bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi. Camila seharusnya berada di depan kelas Revan untuk menyatakan perasaan atau semacamnya. Tetapi, gadis itu malahan menangis dan larut dalam kesedihan.

Revan menunduk dan melihat sebuah lipatan kertas putih terjatuh. Revan mengerutkan dahinya heran. Revan yakin, sebelumnya kertas itu tidak ada di sana. Revan mengambil kertas tersebut tanpa keraguan, lalu menyimpannya di kantung saku kemeja. Pria itu menduga, Camila secara tidak sengaja menjatuhkan kertas itu. Revan berniat ingin mengembalikannya apabila bertemu dengan Camila.

●●●●●

Don't forget to vote and comment plus share this story to your friends. Thank you!

Salam,
Ovalia :)

THE GIFT OF LOVE [√COMPLETED√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang