31. Patah Hati

286 105 10
                                    

A broken heart in real life isn't half as dreadful as it is in books. It takes spells of aching and gives you a sleepless night now and then, but between times it lets you enjoy life and dreams as if there were nothing the matter with it.

~L.M. Montgomery~

Happy reading :)

*****

"Apa? Kak Revan cinta sama aku?" Camila menggigit bibir bawahnya perlahan. Entah mengapa, Camila tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. Ia tidak begitu senang mendengar pengakuan cinta dari laki-laki itu. Memang ia pernah menyukai Revan. Tapi, itu semua hanya masa lalu.

Revan mengangguk sambil menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Pria itu tersenyum manis. "Dan gue rasa, lo masih menyimpan perasaan yang sama."

Deg.

Camila benar-benar tidak tahu harus berkata apa.

Situasi sekarang telah berubah.

"Kalo gitu, kenapa dulu lo selalu menghindari gue, kak?" Camila bertanya penasaran. Gadis itu langsung melepas tautan tangannya dengan Revan. Camila sungguh tidak mengerti apa yang terjadi.

"Karena," Revan diam sebentar, terlihat sedang memikirkan kata-kata yang tepat. "Sejak kecil, gue dibesarkan dengan harta kekayaan, sama persis kayak lo. Tentunya gue bersyukur terlahir dari keluarga yang sangat berkecukupan. Tapi, sayangnya, gue gak pernah mendapatkan kasih sayang dari orangtua. Selama ini yang gue terima cuma uang puluhan juta di rekening, sampe-sampe gue bingung gimana caranya habisin uang sebanyak itu."

"Gue paham dengan pekerjaan ayah gue yang selalu bepergian ke luar negeri. Ayah gue orangnya workaholic, selalu menomorsatukan pekerjaan. Jadi, gue paham kenapa gue cuma bisa ketemu setahun sekali sama bokap. Sedangkan ibu gue, dia jarang pulang padahal jarak kantornya deket dari rumah. Seringnya nginep di hotel mewah sambil ngurusin pekerjaan di Jakarta. Setiap ada waktu luang, dia selalu pergi ke mall untuk belanja perhiasan dan barang-barang yang gak penting." Revan melanjutkan.

"Setiap gue melihat lo, entah kenapa, di otak gue selalu terbayang wajah ibu gue. Perbuatan lo dulu sama persis dengan ibu gue. Dari cara lo yang dulu selalu pake perhiasan berlebih, cara lo ngatain Albert karena dia hidup berkekurangan, semuanya sama persis. Sebenarnya, selain pebisnis, nyokap gue juga ketua bidang kesiswaan di sekolah ini. Setelah gue tahu kalau bokap lo nyogok nyokap gue sampe ratusan juta biar masuk sekolah ini, gue memilih untuk mundur. Gue dari dulu gak pernah mau punya pasangan dari keluarga kaya."

"Tapi, perasaan cinta ternyata susah hilang. Gue berkali-kali bertindak kasar ke lo supaya gue bisa melupakan semuanya. Gue benci nyokap dan tindakan lo dulu selalu mengingatkan gue pada nyokap. Dan semenjak gue baca surat ini," Revan mengeluarkan lipatan kertas dari dalam saku celananya. Pria itu menyerahkan kertas tersebut ke tangan Camila. "Gue sadar, gue selama ini salah. Gue berkali-kali bikin lo sakit hati. Sekali lagi, gue minta maaf."

Camila terkejut melihat lipatan kertas miliknya disimpan oleh Revan. Ia segera mengambil kertas tersebut dan meletakkannya di kolong meja. "Kenapa kertas ini bisa ada di Kak Revan?"

"Inget pas kita gak sengaja tabrakan di lorong? Lo gak sengaja jatuhin kertas itu."

"Jadi, lo udah baca isi kertasnya, kak?" tanya Camila memastikan.

Revan mengangguk. "Sekarang gue paham dengan perasaan lo. Gue cukup kaget sih, ternyata kita merasakan hal yang sama. Kesepian karena dikelilingi harta orangtua."

"Semenjak ayah gue ngasih hukuman, gue jadi sadar gue salah. Terutama saat kecelakaan orangtua gue. Rasanya gue manusia paling berdosa di dunia. Sekarang gue hanya bisa berharap ayah bangun dari koma dan langsung minta maaf." Camila menundukkan kepalanya. Lagi-lagi, gadis itu teringat akan tragedi menyeramkan itu. Sangat sulit untuk dilupakan.

Revan memajukan badannya ke depan. Memposisikan dirinya lebih dekat dengan Camila. "Gue udah tahu semuanya dari Albert. Gue turut sedih mendengarnya. Albert memang orang yang tepat untuk menguatkan lo di saat-saat begini. Dulu dia pernah mengalami hal yang sama."

Camila mengelap air matanya yang tiba-tiba menetes tanpa permisi. "Bener. Selama ini gue salah paham tentang Albert. Dia orang yang hebat dan kuat, baik secara fisik maupun emosional.

"Setuju, itulah kenapa gue senang punya sahabat seperti Albert. Tapi, kita bisa bahas soal Albert nanti. Soalnya ada sesuatu hal serius yang mau gue omongin." balas Revan, lalu memandang Camila lekat. Memfokuskan seluruh perhatian pada seorang gadis cantik di hadapannya.

Mendengar namanya disebut, Albert mulai memfokuskan indra pendengarannya lebih tajam. Sedari tadi pria itu mendengarkan percakapan antara Revan dan Camila dari balik tembok dekat jendela kelas. Albert bersembunyi di sana kira-kira selama lima menit. Ia sangat penasaran dengan apa yang terjadi antara Revan dan Camila.

"Bicara apa, kak?" tanya Camila tidak mengerti.

Revan berdeham sebentar. Bersiap mengatakan sesuatu yang pastinya memberikan efek begitu besar pada Camila. Pria itu meraih tangan Camila perlahan. menggenggamnya erat, lalu mencium punggung tangannya. "Gue tahu ini terlalu cepat. Tapi, sejujurnya, gue cinta sama lo. Gue sayang sama lo, Camila. So, do you want to be my girlfriend? Will you be mine?"

Deg.

Camila dapat merasakan tatapan intense yang dilontarkan Revan. Jujur, Camila tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Terutama tentang perasaannya terhadap Revan. Seharusnya, ia merasa senang mengetahui Revan menyimpan rasa cinta padanya. Camila semestinya bersorak riang bahagia mendengar pernyataan Revan.

Namun, semuanya telah berubah. Keadaan menjadi terbalik. Camila sepertinya telah berhasil move on dari Revan. Sayangnya, Revan datang di saat yang tidak tepat.

Albert yang bersembunyi di balik tembok merasa tidak sanggup lagi. Sekujur badannya terasa kaku. Tetes-tetes air mata seketika lolos jatuh. Dunia Albert rasanya dijungkir balikkan oleh kenyataan. Mengetahui fakta bahwa Revan selama ini menyukai Camila, semua harapan Albert langsung hilang dan lenyap.

Albert segera melangkah pergi. Merasa tidak mampu mendengar lebih jauh lagi. Hatinya terasa sakit seperti diterkam pisau belati. Revan dan Camila ternyata saling mencintai. Mereka memang pasangan yang cocok dari segala sisi. Apalagi, Revan adalah siswa yang cukup popular di sekolah. Pria idaman semua perempuan. Albert jelas kalah jika ingin melawan pesona Revan. Selain kaya dan tampan, dia ketua tim basket yang paling digemari siapapun.

Albert telah kalah.

Pria itu sadar, Camila bukanlah untuknya.

Albert kembali ke lapangan dan duduk di posisi yang semula Revan perintahkan untuk menunggu. Ia mengelap air matanya kasar. Kehilangan seseorang yang dicintai itu ternyata sangat menyakitkan. Meskipun dirinya belum mendengar jawaban dari bibir Camila secara langsung, Albert yakin gadis itu pasti menerima pernyataan cinta Revan. Albert menundukkan kepalanya, lalu kembali menangis. Sahabatnya telah berhasil merebut sosok perempuan yang Albert cintai dan sayangi dengan segenap hati.

Pria itu bangkit berdiri, lalu berjalan untuk mengambil tasnya yang disenderkan ke pot tanaman di dekat lapangan. Ia mengambil ponselnya dan mulai mengetik sebuah pesan kepada Revan.

Albert: Van, gue titip Camila di lo, tolong anter dia pulang. Gue lupa ternyata ada urusan penting, jadi gue harus pulang sekarang.

Sent.

Setelah mengirimkan pesan, Albert segera pergi menuju parkiran motor. Ia ingin cepat-cepat pulang dan beristirahat. Terutama untuk menyembuhkan luka hati yang terasa begitu menyiksa.

*****

Haloo haloo haloo
Aku update lagi nichhhh, sorry yaa kalo lama hehehe soalnya tadi ada beberapa yang perlu di editt.
Terimakasih untuk para readers yang setia membaca cerita aku!
Jangan lupa vommentsnya ya! Yuk belajar menghargai usaha author dalam menulis cerita ini.
No silent readers!

Salam,
Ovalia

THE GIFT OF LOVE [√COMPLETED√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang