C3

357 53 6
                                    

Keesokan paginya.  Irene benar-benar datang lebih awal dari biasanya,  terlihat tengah sibuk merapihkan seluruh berkas-berkas yang di minta atasannya. 

Kreit. Suara pintu terbuka membuat Irene langsung menolehkan wajahnya dan seperti belum cukup juga penderitaannya hari ini, tiba-tiba temannya Agus  datang masuk ke ruangannya tanpa mengetuk atau meminta izin terlebih dahulu kepadanya.

"Hai Irene." Sapa Agus dengan cengirannya, merasa tak berdosa karena seenaknya saja masuk ke ruanganya.

"Aku kan sudah bilang, kalo masuk ke ruanganku ketuk pintu dulu!." Geram Irene menatap nyalang ke arah Agus.

"Maafkan aku, lagi pula kan kau temanku. Jadi apa salahnya sih Ren, jangan terlalu formal gitu dong." Tukas Agus dengan wajahnya yang sok ketampanan. 

"Yakk.! Teman juga butuh privas. Aish." Teriak Irene pada Agus dengan suaranya yang nyaring.

"Ehem." Agus mendehem, mencoba mengalihkan kemarahan Irene. "Ya ya maafkan aku. Tak akan ku ulangi lagi.- Pinta Agus merasa bersalah. "Ngomong-ngomong kamu lagi ngapain? Bukankah hari ini ada pertemuan para atasan untuk menyambut CEO baru." Tanya Agus kembali mengalihkan pembicaraannya ke topik lain. 

"Jangan banyak tanya, aku sedang sibuk." Sahut Irene dingin.

Melihat temannya yang sudah tak bersahabat ketika diajak berbicara, Agus pun memilih untuk pergi. "Baiklah-baiklah, aku pergi. Jangan lupa datang yah, siapa tahu dapet jodoh biar gak jomblo terus."  Ujar Agus terkekeh.

"Agussssssss." Geram Irene mengepalkan kuku-kuku jarinya. 

Agus segera berlari keluar dari ruangan putri Ice, sebelum kepalanya di kentong pake High'heels miliknya.

"Akh." Irene memegang pelipisnya yang berdenyut. "Teman-temannya memang tak ada yang benar, selalu mengganggu dirinya saja tidak Renata tidak Agus sama saja." Gerutu Irene.

Tak lama setelah kepergian Agus, tiba-tiba ada suara panggilan dari Handphone nya. Irene melihat layar di handphonenya, kedua matanya langsung membola saat melihat nama pemanggil yang tertera di laya Handphone nya, dengan segera ia menekan tanda hijau.

"Hallo. Apakah ada kabar baik?." Desak Irene, suaranya terdengar memburu. Ada rasa cemas dan takut secata bersamaan dalam setiap katanya.

"Iya Hallo Nona Irene. Nona maafkan saya menghubungi Anda di waktu kerja, ada hal penting yang harus saya sampaikan sebelumnya pada Nona."

"Tidak apa. Tolong katakan saja semuanya, a-ku bisa mendengarkannya." Bisik Irene.

"Mungkin ini bukan kabar yang baik untuk Anda, Nona Irene maafkan saya." Ucap Dokter tersebut merasa menyesal.

Deg.
Hatinya menjadi semakin was was, ia takut hal-hal buruk yang akan ia dengar. "Katakan itu Dok!"  Tanya Irene lemah, suaranya hampir tak terdengar. Nafasnya sedikit memburu, jari jemarinya memegang dadanya yang berdegup.

"Apa tidak sebaiknya kita bertemu saja, Nona?." Pinta sang Dokter kepada Irene.

Irene terdiam sesaat, ia berpikir keras. "D-dok bisakah aku mendengarnya sekarang. Saat ini aku tidak bisa, karena banyak sekali pekerjaan yang harus aku urus hari ini." Pinta Irene lirih, air matanya sudah tak bisa ia tahan kembali.

"Baiklah." Terdengar helaan nafas berat dari sebrang sana membuat Irene semakin cemas.

"Nona, kami pihak rumah sakit sudah sangat berusaha keras dan kondisi pasien masih tetap sama tak ada perkembangan sama sekali. Ini sudah 6 Tahun lamanya, sebaiknya adik Anda dibawa ke rumah sakit lain untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik lagi." Jelas sang Dokter dengan nada suara yang menyesal.

MASK LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang