.
.
.
.Irene menaiki elvalator menuju ke ruangan Direktur, ia membawa berkas-berkas yang diminta oleh Direkturnya pagi tadi. Tepat di depan pintu Direkturnya itu,dengan pelan ia mengetuk pintu. Hingga terdengar suara atasannya itu yang mempersilahkan dirinya masuk.
"Permisi Direktur." Sapa Irene. Ia berjalan masuk dan berdiri di depan meja Direkturnya. "Ini adalah berkas-berkas yang Anda minta." Kata Irene menyerahkan beberapa tumpukan berkas yang kepada atasannya itu.
"Berkas?."
Direktur menautkan kedua alisnya, menatap bingung ke arah berkas yang barusan Irene serahkan, sejak kapan ia meminta. Bukankah saat itu Irene sudah memberikan padanya.
"Agus bilang padaku untuk mengantarkan laporan pemasaran bulan lalu kepada Anda." Ujar Irene menahan sabar.
"Maaf Irene. Aku tidak meminta atau pun menyuruh Agus untuk kau membuat laporan pemasaran bulan lalu, bukankah kau sudah menyerahkannya Minggu lalu."
Irene menghela nafasnya panjang, sial ternyata Ia telah dikerjai oleh pria itu awas saja kalo ketemu bakal aku hajar dia. "Baiklah, kalo begitu aku permisi." Ujar Irene langsung membungkukkan tubuhnya, tak ada senyum dibibirnya. Setelah itu Ia langsung keluar dari ruang Direkturnya.
Tak langsung kembali keruangannya. Irene berjalan lurus dengan wajahnya yang dingin dan hati yang dongkol pergi menuju ke ruangan pria yang bernama Agus.
Bruk.
Pintu itu dibuka dengan paksa oleh Irene, tanpa memikirkan bawha sang pemilik ruangan tengah sibuk atau tidak. Biarlah orang berkata apa dengan kelancangannya ini, Ia tahu jabatan dirinya dan Agus lebih tinggi pria itu.
"Hah." Pria itu menghela nafasnya, sambil mengusap dadanya yang terkejut ulah wanita bernama Irene. Ia menghentikkan pekerjaannya, melihat wajah wanita yang tengah memandangnya sengit, sepertinya Irene dalam keadaan tidak baik. Terlihat dari nada bicara dan tatapannya yang membunuh.
"Apa ini sedang di hutan? Kenapa kau main seenaknya masuk ke ruanganku kau tidak lihat bahwa aku tengah ada tamu." Ucap Agus melirik ke arah tamunya meminta maaf, kemudian menatap kembali Irene.
"Pak Agus yang terhormat ada hal penting yang ingin aku bicarakan padamu, SEKARANG." Desis Irene sambil menyilangkan tangannya di atas dada.
Dalam hatinya, Agus menggerutu dengan tingkah Irene yang tak melihat situasi. Jika memang ingin berbicara pada nya kenapa harus sekarang, membuat Ia pusing saja. "Tunggu setelah aku berbicara dengan Nona Sindy, Irene." Gumam Agus menahan kedongkolannya.
"Bukankah kau yang menyuruhku mambawa laporan bulan ini kepada Direktur? Tapi kenapa Direktur tidak merasa menyuruhku, apa kau sengaja mengerjai-
Belum juga Irene melanjutkan perkataannya, Agus sudah terlebih dahulu membekap mulutnya membuat Irene kesulitan berbicara.
"Hm. Hm." Erang Irene, kedua matanya membola menatap Agus tak percaya.
"Ehm."Agus berdehem, mencoba menetralkan situasi. "Maaf nona Sindy, sepertinya kita bicarakan kembali masalah laporan yang ada di Surabaya." Ucap Agus merasa bermasalah pada wanita berpakaian glamor itu.
"Baiklah, tidak masalah." Jawab Sindy bangun dari duduknya, Ia segera merapihkan berkas yang telah Ia keluarkan di atas meja tadi. "Kalo begitu saya permisi dulu Tuan Agus." Kata Sindy menyunggingkan senyumnya ke arah pria itu dan menatap tak suka ke arah Irene.
Irene langsung menggigit tangan Agus, saat wanita bernama Sindy itu berlalu pergi.
"Aw." Teriak Agus memegang lengannya. "Kau." Ujar Agus menatap jengkel ke arah Irene.
"Kau pantas mendapatkannya." Ujar Irene menatap dingin, ia mengabaikan perkataan dari Agus Ia lebih menutup telinganya dan pergi dari ruangan Agus.
"Irene." Panggil Agus kencang, saat melihat Irene melengos begitu saja tanpa memperdulikan perkataannya. "akh wanita itu." Gumamnya pelan sambil menatap bekas gigitan Irene di tangannya.
***********
Irene menghempaskan tubuh lelahnya di sofa ruang kerjanya, sudah setengah jam Ia berputar-putar. Ia malas harus naik lagi kelantai atas, tubuhnya sudah lelah ditambah ia mengantuk.
"Orang-orang itu sungguh menyebalkan. Bahkan aku melewatkan makan siangku." Desahnya sedih, melirik jam yang menunjukkan sudah pukul 2 siang.
"Padahal aku belum sarapan pagi tadi, sekarang aku juga belum makan siang." Keluhnya.
*********
"Mah. Besok mungkin aku akan Ke Jakarta, ada beberapa keperluan tugas Kuliah di sana. Jadi mungkin aku harus meninggalkan Mamah dengan para pelayan dan Supir bang Sarif." Kata Kevin kepada Mamahnya, Ia juga sekalian meminta izin, agar tugas kuliahnya dipermudah dan dilancarkan.
Mamah Julia menatap anak bungsunya tersenyum. "Apa kau cemas dengan Mamahmu ini, sayang?." Tanya Julia mengelus lembut rambut Kevin penuh sayang.
"Jelas aku khawatir, selama ini aku selalu menemani Mamah." Serunya cepat. "Ka Irene kan selalu sibuk kerja di Jakarta." Sambungnya lirih.
"Anak Mamah kini sudah tumbuh dewasa yah. Sayang jangan bicara seperti itu soal Kakamu, dia begitu semuanya semata-mata demi Mamah dan dirimu." Gumam Julia, pikirannya seketika mengarah kepada putrinya Irene, bagaimana kabarnya. Batin Julia sedih. .
"Mamah, aku akan menemui Kaka dan menyampaikan salam mu untuknya." Tekad Kevin. Ia menatap Mamahnya yang terlihat berkaca-kaca. "Aku sudah dewasa. Pasti akan menjaga Mamah dan Kaka, mungkin saja sekarang l tubuhku lebih tinggi dibandingkan Kaka, Kaka kan pendek dari dulu."
"Aish anak ini. Kau tidak boleh begitu, dia itu tetep kakamu, bagaimana jika dia mendengar ini, ia pasti akan memarahimu." Celetuk Julia pada Kevin yang masih cengengesan tak jelas.
"Aku rindu padanya." Gumamnya pelan.
"Mh, Mamah juga merindukan Kakamu. Kau pergilah menemuinya jika memang ingin ke Jakarta." Perintah Julia pada Kevin.
Kevin menganggukkan kepalanya dan tersenyum bahagia. "Tentu, aku akan meminta tambahan uang padanya." Ujarnya diselangi dengan tawa kecilnya.
*********
"Dokter. Bagaimana kondisi pasien kamar 345. Apakah sudah ada perkembangannya?." Tanya Jeni menatap cemas ke arah seniornya di rumah sakit.Dokter Rian menatap Jeni sendu, Ia merasa bermasalah mengatakan hal ini. "Maaf Dokter. Tapi ini adalah privasi pasien, saya tidak bisa mengatakannya kepada Anda." Ucap Dokter Rian kepada Jeni yang terlihat murung.
"A-ah, Anda tidak perlu khawatir Dok, karena aku adalah teman dari Wali pasien itu." Ujar Jeni gelagapan, Ia berusaha membuat Dokter Rian mempercayainya.
Namun ternyata tidaklah mudah, saat ini Jeni merasa terpojok dengan tatapan mata Dokter Rian yang begitu Intens padanya segera menggelengkan kepalanya pelan "Itu tidak seperti yang Anda pikirkan, Dok. Sungguh ini adalah perintah Irene. Kebetulan Irene Adalah sahabat saya, jadi Ia menitipkan pasien itu kepada saya." Jelas Jeni meski dengan suara yang terdengar gugup.
Dokter Rian menurunkan kacamatanya, Ia menarik nafasnya kemudian mengeluarkannya kembali dengan nafasnya dalam. Menimang-nimang dari mana ia akan menjelaskan kondisi pasiennya itu. Karena ini sungguhlah sulit baik untuk dirinya dan peraturan.
"Baiklah jika Irene mengizinkannya." Putus Dokter Rian, menyetujui langkah baik dari seorang Jeni. "Kalo begitu, mari kita bicarakan hal ini di taman rumah sakit saja." Ajak Dokter Rian, memberikan jalan pada Jeni untuk mengikutinya dari belakang.
Mereka berjalan dalam keadaan hening, larut dalam pikiran masing-masing. Hingga langkah mereka terhenti di bangku taman yang memang di sediakan rumah sakit untuk para pengunjung ataupun pasien untuk bisa menghirup udara segar.
"Harus darimana aku memulainya,?" Gumam Dr.Rian bertanya pada dirinya, ia menatap hamparan awan putih yang bergerak mengikuti arah angin.
Saat itu...
KAMU SEDANG MEMBACA
MASK LIFE
RomanceBahkan aku menutup mata dan tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Saat aku melihat dengan mata terbuka, ini luka yang terlalu lama untuk ditangisi. Janji terakhir kali, sekarang aku hanya bisa mengatakannya sebagai kenangan. Saat senyum manis itu per...