H8

303 40 2
                                    

"Astaga Tuan." Teriak Jack saat masuk ke ruangan Tuannya dan melihat ruangan itu sudah berantakan.

Sedangkan Taehyung. Ia tengah terduduk di sudut ruangan, dengan lagi-lagi luka ditangannya. "Tuan. Kenapa Anda melukai diri sendiri terus menerus, aku sudah mengatakan untuk tidak terbawa emosi." Ucap Jack menatap nanar darah yang keluar dari lengan Tuannya.

Jack langsung mengambil kotak P3K yang berada di lemari, lalu Ia mendekati Taehyung untuk membersihkan darah yang sudah mengering di lengan Taehyung.

"Berikan aku laporannya." Ucap Taehyung, Ia juga menepis lengan Jack yang akan mengobati lukanya itu.

"Tuan. Tidak bisakah aku mengobati luka Anda terlebih dahulu." Pinta Jack memohon.

"Mana?." Tanya Taehyung tak mengindahkan permintaan dari Jack. Taehyung mendongakkan kepalanya, mata hitamnya menatap tajam kearah Jack. "Berikan padaku."

Tak punya pilihan lain, Jack segera menyerahkan map berwarna merah itu kepada Taehyung. Dengan cepat Taehyung langsung merebutnya dan membacanya. Setelah dibuka lembaran demi lembaran, amarah Taehyung tiba-tiba tersulut lagi.

"Tidak mungkin." Desis Taehyung sambil meremas kumpulan kertas-kertas itu dan melemparnya. "KAU TAU. AKU SUDAH BERTEMU DENGANNYA DAN AKU SANGAT MEYAKINI JIKA ITU JISO, JISO KEKASIHKU." Taehyung berteriak, Ia sudah tak bisa mengontrol seluruh emosinya.

"Tuan. Dia adalah nona Irene, Ia awalnya tinggal di Bandung. Setelah satu tahun yang lalu, Ia mulai bekerja di perusahaan ini. Dan Ia hanya memiliki adik laki-laki yang saat ini tinggal bersama Ibunya di Bandung, mereka tak ada hubungan sama sekali dengan nona Jiso." Jelas Jack, nada bicaranya sebisa mungkin untuk tidak membuat Taehyung menjadi lebih emosi.

Tapi, bukan Taehyung namanya jika Ia tetap diam dan menerima semuanya begitu saja. Ia tetap bersikekeh mengatakan bahwa Irene adalah Jiso-nya yang telah lama pergi.
"Jiso. Aku berjanji, aku tidak akan mengecewakanmu dan tetap berada di sisimu." Gumam Taehyung lemah. Saat ini Ia seperti anak singa yang kehilangan induknya, benar-benar tak berdaya.

*********

Irene memandang gusar sekitarnya, setelah dari ruangan Presedirnya. Irene segera bergegas lari ke ruangannya dan menutup rapat pintu ruangannya, hatinya menjadi sedikit terguncang setelah kejadian tadi. Emosi yang telah lama Ia pendam seketika memuncak, menimbulkan amarah pada dirinya.

Pria itu dengan brengseknya mencium dirinya. Ia tahu, di dunia modern saat ini hal seperti ini memang sudah biasa dan dianggap wajar tapi tidak dengan dirinya. Ini benar-benar melukai harga dirinya sebagai seorang wanita dan lagi pria itu seenaknya menggertak dirinya seakan Ia mengenali dirinya yang baru pertama bertemu.

"Dasar Psyco." Desis Irene. Hari-harinya di kantor mulai tak nyaman, banyak yang membuatnya kesal dan dongkol sepanjang hari.

Drrtt.. Drtt..

Irene menatap ke arah mejanya saat handphonenya berbunyi, memecahkan kekalutannya. Ia segera mengambil benda pipih itu, melihat nama Sahabatnya yang tertera dilayar   segera saja Irene mengangkatnya.

"Hai, Dev." Sapa Irene dengan nada suara senormal mungkin, Ia tak ingin orang sekitarnya akan mengkhawatirkan dirinya.

"Kau baru mengangkat telponmu." Tanya seseorang disebrang telpon. "Kau tau. Sudah berapa kali aku menelponmu, tak ada satu panggilanpun yang kau terima pagi ini." Cerca Devi kepada Irene tanpa mengijinkan Irene barang bernafas sekalipun. "Kau gila apa, membiarkan aku menyelesaikan pekerjaan ini seorang diri, jangan selalu fokus pada masa lalu. Berjalan terus ke depan Ren, kembalilah ke Bandung."

Irene memijat pelipisnya yang mulai terasa berdenyut, sudah masalah di Kantor sekarang Devi sahabatnya malah mengomelinya lagi. "Sorry Dev, Handphoneku awalnya aku silent. Jadi wajah jika panggilanmu tak diketahui olehku, kamu jangan marah-marah terus nanti tua loh." Ucap Irene mencoba mencairakan suasana yang sudah tak enak.

"Akh, kau selalu begitu. Jadi kapan kita akan bertemu, aku sudah katakan segera datang ke Kantor ada masalah penting yang harus aku bicarakan tentang kantor." Ucap Devi pada akhirnya, kembali menormalkan nada bicaranya yang awalnya meninggi.

Irene menghela nafasnya dalam, Ia tahu semenjak satu tahun ini urusan kantor telah Ia serahkan kepada Devi. Pasti Devi kewalahan mengurusnya seorang diri, Ia terlalu kejam pada sahabatnya sendiri. "Baiklah-baiklah, hari Kamis aku akan ke sana. Mungkin aku akan mengambil cuti selama dua hari, kebetulan cutiku belum di ambil untuk bulan ini." Putus Irene akhirnya.

"Aku sudah merekam suaramu Irene, jika kau tak datang. Akan aku jual kantor ini dan aku bawa kabur uangnya." Teriak Devi, membuat Irene segera menjauhkan benda pipih itu dari telinganya.

"Astaga, dia benar-benar bukan seorang perempuan." Desis Irene menatap handphone miliknya. " Baiklah aku tutup dulu teleponnya, aku masih kerja. Bye." Irene langsung memutuskan sambungan teleponnya.

"Akh, sepertinya aku harus lembur untuk mempersiapkan cutiku." Desah Irene, kedua lengannya terangkat ke atas melonggarkan otot-ototnya yang mulai terasa kaku setelah bekerja duduk di layar komputer.

********

"Irene. Yuk ke Kantin." Ajak Renata yang menongkal kepalanya dibaliknpintu berwarna coklat itu.

"Sebentar." Ucap Irene, segera membereskan sedikit pekerjaannya.

"Okay. Jangan lama-lama, aku udh laper nih, butuh asupan." Sahut Renata, yang tak kunjung masuk masih tetap stay di pintu.

"Iyah-iyah, hayu aku udah selesai nih." Jawab Irene melangkah ke arah Renata.

Dengan riang Renata menggandeng lengan Irene menuju ke kantin perusahaan yang letaknya tak jauh dari ruangan sekitar mereka, cukup menaiki satu kali lift.

"Oea Irene, tadi kamu udh ketemu sama Presedir nya? Bagaimana menurutmu?." Tanya Renata penuh rasa ingin tahu.

"Bagaimana apanya sih?." Tanya Irene balik.

"Ya bagaimana, kamu kan tahu Presedir itu benar-benar tampan. Terus uekh, dia keren banget. Pasti dia baik kan?." Todong Renata dengan penuh pertanyaan, membuat Irene dibuat pusing kepala.

"Ya ya terserah dirimu deh, yang pasti aku melihatnya tidak seperti itu." Sangkal Irene dengan suara santainya.

"Hah? Serius? Kau mah memang aneh matanya, Presedir yang tampan itu saja kau sebut Biasa aja. Oh Tuhan, seperti apa sebenarnya pria tampan menurutmu Irene."

Ting!

Suara lift terbuka. Syukurlah, setidaknya Irene bisa selamat dari berbagai pertanyaan Renata lagi. Meski Ia tak yakin dengan itu, karena pasti di Kantin Ia akan terus mengoceh lagi.

"Irene.Tungguin aku dong." Teriak Renata yang ditinggal oleh Irene yang terus berjalan meninggalkannya di dalam lift.

"Buruan." Ujar Irene, mengabaikan teriakan Renata.

**********

Suasana di Kantin cukup lenggang, tidak seperti biasanya. Namun, Irene mensyukuri nya setidak Ia bisa sedikit bernafas lega menghirup udara.

"Ren, cepetan. Kamu pesen apa aja sih, gak usah banyak-banyak nanti gak habis loh." Perintah Irene pada Renata, yang terlihat masih sibuk memilah-milah makanan. "Ya udah, aku duluan duduk di sana yah." Ucap Irene, sambil melangkah membawa makanan pesanannya.

Irene memilih makan di sudut ruangan yang sepi dari kerumunan, Ia menaruh nampan itu di meja dan langsung duduk. Melihat sekitar, akh seandainya kantin selalu lenggang kaya gini Mungin Ia akan rajin ke kantin. Sepi membuatnya merasa tenang, tanpa kebisingan.

"Irene. Kamu jauh banget sih tempat duduknya, padahal di sana masih banyak yang kosong." Renata lagi-lagi datang dengan omelannya.

"Sudah-sudah, sini duduk dan makan." Perintah Irene, Ia sedikit bergeser mempersilahkan Renata di sebelahnya.

"Wah, kamu benar-benar sedang diet yah. Makanan kamu sedikit sekali." Gumam Renata, menatap makanan Irene yang hanya beberapa saja.

"Tidak juga. Aku hanya lagi tak ingin makan yang berat-berat saja." Kilah Irene.

Renata tak lagi menanggapi Irene, Ia langsung sibuk dengan makanannya yang setumpuk itu. Irene pikir temannya ini benar-benar kalap, makanan sebegitu banyaknya.

MASK LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang