Semua tampak berbeda ketika kucoba untuk melepas kacamata minus dari pandanganku. Terasa asing, seperti ada sesuatu yang hilang. Terlihat tak genap namun sebenarnya utuh.
Tak bisa lagi aku menjabarkan detailnya, begitu samar bahkan buram. Pesonanya seakan lenyap karena lebur dimana-mana. Berhamburan lari tak tau kemana.
Aku tengok bait puisi, namun katanya berkeliaran. Bahkan hurufnya tak sama sekali terdeteksi. Seakan hanya garis hitam terefleksi dalam lembaran putih. Kemana puisiku? Apa juga dengan tega dia meninggalkanku bersama getirnya pilu? Jangan kamu, cukup dia.
Biar saja dia pergi menemukan separuh hati yang baru. Atau mungkin berkelana bersama bayang yang didambanya. Biar saja. Asal jangan kamu yang diambilnya dariku. Walau sebenarnya mengenangmu bagai merasakan perih teriris pisau, namun karenamu aku bisa terapung dalam payau.
Aku tau, sebagian besar energimu tercipta dari rasanya. Aku tau, kamu menjadi hidup karena kisahnya. Dan aku tau, kamu tertulis untuknya. Namun, apakah kamu ingat bahwa kamu adalah puisiku? Sekalipun tak akan ada dia yang mewarnai nyatamu, namun sesekali akan aku hadirkan dia dalam goresmu. Percayalah.
Kamu adalah puisiku yang bermakna. Jika baginya kamu hanyalah sekedar bualan, biar saja. Kamu tetap puisiku. Dan tetaplah temani aku dengan segala minus yang ada dalam diriku.
Semburmu hanya kasat mataku tanpa alat bantu, namun jiwaku masih bisa merasakan syahdumu. Kamu adalah puisiku dan akan tetap menjadi puisiku. Sekalipun jemari lesu menggoreskanmu bersama kelam pikiran dan waktu. Aku tak akan menyerah untuk mengabadikanmu, puisi hatiku.
27 Januari 2018
YOU ARE READING
Bait Aksara
PoetryKumpulan puisi berwujud diksi yang mengambil alih seluruh cerita. Lalu bait telah menyelesaikan tugasnya untuk melukis aksara.