Berandal Pertigaan Warchild

108K 5.9K 423
                                    

Di suatu malam yang panas hanya terlihat beberapa kendaraan yang melintas di jalan raya Jagakarsa. Mungkin saat itu sudah di atas pukul 10 malam. Gua berjalan dengan sahabat gua yang bernama David Muray ke tempat biasa kami nongkrong.

Entah kenapa di jaman itu, tahun 2004, kalau kami mau nongkrong itu gak pake janjian. Setiap hari di jam dan tempat yang sama kami berkumpul dengan sendirinya. Semua terjadi begitu saja secara otomatis tanpa adanya koordinasi atau undangan dari pihak tertentu. Walau di tahun itu alat komunikasi yang bernama Handphone sudah banyak yang menggunakan di kalangan masayarakat, tapi kami sebagai anak-anak berandal kampung Warchild belum ada satu pun yang memiliki benda sakti itu.

Ya, kalau mau main sama teman paling-paling nyamper ke rumahnya, sambil teriak-teriak di luar pager halaman, "Toyib...Toyib.. Main yuuuk!" tentunya dengan nada yang berintonasi panjang dan kekanak-kanakan.

Tidak lama kemudian kami berdua sampai di pertigaan kampung Warchild. Kami menyebut tempat tongkrongan kami dengan julukan P3C atau Pertigaan Ceria. Tempat di mana gua belajar untuk ngerokok, minum-minuman beralkohol, dan ngerusuh ala preman kampung. Pokoknya suram deh tempat itu!

Sekilas gambaran tentang P3C. Tempat itu adalah Jalan Raya Mohammad Kaffi II. Jalan raya kecil yang menghubungkan antara Jakarta ke Depok tanah baru. Kami nongkrong tepat di pertigaan yang mengarah ke Cinere, dulunya di situ ada satu kios rokok kepunyaan kawan kami yang bernama Beni the molor. Sebelum pada akhirnya bertransformasi menjadi Alfamidi pada tahun 2014. Kios kecil itu kami sebut dengan kios serba guna, karena di sana bisa menyediakan kopi, mie rebus kalau perlu, dan bahkan tempat tidur di kala kami sudah mabuk berat. Makanya dari anak-anak di kampung Warchild kebanyakan suka nongkrong di situ. Karena selain murah, bisa di utangin! hehehe...

Di sana sudah ada tiga sohib gua yang datang lebih dulu. Ada Buluk, Endank, dan Rokib yang sedang mejeng dengan gaya berandalannya.

"Kemane aje lu berdua baru nongol gini hari?" tanya Endank sembari menjentikan abu rokoknya. Endank adalah lelaki berambut brokoli yang sekarang duduk di bangku kelas tiga STM dan dia salah satu anak STM Basis 305 di tongkrongan kami.

"Maklumlah telat dateng, gua kan lebih ganteng dari elu pada, jadi agak butuh perawatan lebih di wajah banding anak-anak dekil kaya elu," sahut David Muray sambil bergaya merapihkan jambul di rambut yang menjadi kebanggaannya.

"Lah, kalo elu juga ngapa ngikut telat, Tok? Elu kan kaga ganteng kaya si David." kini Okib yang bertanya dengan gaya tengil.

Pemuda bertubuh pendek ini terkenal dengan anaknya Ustad kampung sini dan dia seorang jomblo sejati yang juga bersekolah di STM yang sama dengan si Endank. Rokib juga masih anak baru sama seperti gua.

"Kampret lu!" maki gua sembari menoyor kepala anak itu. "Sejelek-jeleknya gua masih jelekan elu!"

Anak tengil itu hanya tertawa.

"Gimana Tox, rasanya setelah jadi warga STM? Pasti sekarang banyak cewek-cewek yang deketin lu kan?" tanya Buluk dengan cengiran lebarnya.

Lelaki bertampang seram yang memiliki tubuh gendut kekar dan kulit hitam lekat itu bertanya dengan cengiran lebarnya. Buluk juga termaksud anak STM dari Basis 305 yang menjadi rival abadi sekolahan gua dan dia kini dia sudah kelas dua di sekolahannya.

"Omongan elu beracun Luk! Bukannya cewek gua dapet, malah di kerubutin batangan-batangan kadarluarsa di sekolah! Mana sekarang gua lagi di tatar sama anak-anak kelas dua lagi,"

Mereka tertawa mendengar jawaban gua.

"Hahahaha...STM itu keras bray!" Sahut Endank ikut menimpali.

BADJINGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang