Siang ini gua berdiri di pertigaan warung silah sendiri. Menunggu angkot yang akan membawa pergi ke sekolah. Perasaan gua saat ini sedang diliouti oleh kesepian yang mendalam, karena sehabis di tinggalkan orang yang gua sayang.
Sebatang rokok gua hisap perlahan sambil memperhatikan asap yang mengebul keluar dari mulut dengan perasaan sepi. Asap rokok ini memang sebentar adanya setelah dihisap, lalu setelah itu menghilang di bawa oleh hembusan angin. Namun walaupun sebentar tapi meninggalkan sisa bagi tubuh gua. Entah itu kenikmatan ataupun racun.
Sama seperti seorang gadis yang gua sayangi, hari-hari yang gua lalui bersama dengannya terbilang sebentar, namun ketika dia meninggalkan gua pergi, perasaan tentangnya masih tertinggal di dalam diri gua sampai saat ini.
"Woi!!"
Suara yang cukup mengagetkan gua yang sedang terbengong sendirian.
"Ayo naek! Jangan bengong aje lu di situ," Seru Erik yang terlihat berdiri di pintu belakang kopaja.
Gua melambaikan tangan sambil tersenyum menyapanya.
Akhirnya gua naik ke dalam melalui pintu belakang.
Di dalamnya sudah ada Zikri, Bari, dan Ambo yang duduk di barisan bangku paling belakang. Kami bersalaman dan saling menyapa satu sama lain dengan akrab.
Setiap harinya kami memang janjian untuk selalu berangkat bareng ke sekolah. Begitulah anak basis, selalu bersama-sama ketika berangkat atau pulang sekolah.
Erik Banjir tidak ambil kursi untuk duduk, dia sengaja berdiri di pintu untuk memantau kondisi jalur. Hal ini sengaja kami lakukan agar teman-teman sebasis yang daerahnya akan kami lalui mengetahui kalau kami naik bus ini. Dan mereka juga bisa ikut bareng pergi ke sekolah.
Bus yang kami tumpangi melewati daerah Oebin.
Di sana sudah terlihat Agus Tengik dan beberapa anak kelas dua lainnya yang tinggal di sekitaran wilayah ini berkumpul di pinggir jalan.
"Ayo ngik naek!" Seru Erik mengagetkan Agus Tengik yang sedang asik ngobrol. "Jangan mejeng aje lu di situ, percuma gak bakalan laku juga! Ha..ha..ha..ha.." tambah Erik Banjir dari pintu belakang.
Agus Tengik mendangak. Mulutnya terlihat mengumpati Erik.
Lalu menyelipkan sebatang rokok di bibirnya dan dia mulai menaiki kopaja. Di susul pula oleh beberapa anak kelas dua yang naik ke dalam angkot.
"Tarikk teruuusss!!!" Seru Erik Banjir meniru gaya kenek yang memerintahkan supir untuk meluncur pergi.
Bus terus meluncur bagaikan ular yang merayap di jalan raya.
Melalui daerah Kelapa tiga, gang Minyak, sampai ke jalan Joe.
"Joe kosong!" Seru Erik mengisyaratkan kalau di jalan Joe yang menjadi wilayah dari tempat tinggal Botak dan beberapa teman-teman Basis dari golongan anak kelas satu dan dua dalam keadaan kosong.
"Pada kemana nih anak-anak Joe?" Tanya Bari heran.
"Udah berangkat duluan kali bareng Basis Depok," kata gua menduga.
"Diih...kurang ajar! Seenaknye aje jalan duluan!" Ujar Ambo tampak kesal. "Rom, elu gimana sih biarin angkatan lu berangkat duluan? Harus di tertibkan ini anak-anak kelas satu," protes Ambo ke gua.
"Lah, ngapa jadi nyalahi gua lu? Lagian anak-anak Basis kita yang di Joe juga ada anak kelas duanya. Termaksud si Botak kan. Mungkin mereka ngikut sama Botak kali,"
KAMU SEDANG MEMBACA
BADJINGAN
Non-FictionSebuah cerita pelajar STM yang tidak sengaja masuk ke dalam Tradisi Basis (Barisan Siswa) di pinggiran Ibu kota. Hingga akhirnya terjebak dalam lingkaran "musuh warisan" yang di tinggalkan oleh senior-seniornya. Dalam perjalanan menjadi anak Basis...