Jadi anak basis memang membutuhkan mental yang kuat dan nyali yang besar. Selain itu seorang anak basis di tekankan harus mempunyai kecerdikan dan kewaspadaan pada setiap kondisi yang ada. Seperti ketika kami naik angkot melalui suatu wilayah, entah sendirian atau pun bergerombol, kami harus seratus persen bersikap waspada. Mata harus di buka lebar untuk melihat situasi di sekitar. Karena serangan bisa datang dari manapun tanpa di prediksi.
Yang rawan buat anak basis adalah ketika jam berangkat sekolah, karena banyak sweeping oleh sekolahan musuh di jalur yang kami lalui. Tapi jam pulang sekolah lebih mengerikan lagi. Karena bukan hanya pelajar yang kami harus hadapi, tapi beberapa warga kampung atau gembel stasiun yang tidak suka dengan sekolah kami juga turut serta menjadi penghadang di saat pulang sekolah. Apalagi kalau sudah di kejar-kejar polisi, harus mempunyai kecerdikan yang cukup tinggi untuk mengecoh sang petugas keamanan agar bisa kabur dengan aman. Maka dari itu berangkat atau pulang sekolah selalu menjadi hal yang mengerikan bagi anak Basis.
Jujur gua sangat bangga bisa berada di dalam Basis ini. Karena di dalam Basis, gua bisa menjadi anak yang bebas menjadi diri sendiri tanpa perlu malu, gengsi atau menjaga image. Di dalam basis tidak ada sekat-sekat kelas, semuanya sama, semuanya rata. Tidak perlu menjadi siapa-siapa untuk dapat berbicara atau berpendapat di sini. Kami sama-sama bertahan dan saling melindungi satu sama lain.
Basis tidak mengenal istilah bully pada anak-anak baru atau pada kawan seangkatan. Karena kami menganggap semuanya termaksud bagian dari kami. Hubungan dalam Basis layaknya seperti hubungan antara tangan dan mata, ketika tangan terluka, mata akan menangis! Dan ketika mata menangis, tangan mengusap air matanya. Teman satu basis akan saling membantu dan menunjukan sikap solidaritas yang tinggi.
Sore itu sekitar jam lima sore, gua lagi nongkrong di warung rokok depan gereja komplek sekolahan bareng Basis 616 CUS. Di sinilah kami berkumpul sehabis pulang untuk menunggu teman-teman basis yang lain keluar dari sekolah. Di sepanjang jalan gereja sudah penuh oleh seragam putih abu-abu dari tiga sekolah yang bersebelahan itu.
Dari tadi kita asik ngebanyol-banyol rusuh sembari godain cewek SMA yang lewat di depan kami. Itulah rutinitas kami sehari-hari sehabis pulang sekolah. Sebelum nanti akan mengalami hal-hal yang menegangkan di jalan.
Erik Banjir temen satu basis yang mempunyai kulit putih, rambutnya keriting dan gigi depan yang kaya gang sekolahan itu gayanya terlihat kusut ala seniman jalanan. Tapi matanya lincah kalau lihat gadis cantik lewat di depannya. Ada gaya khasnya, yang sukar ditiru, dia bersiul dengan bibirnya namun mengeluarkan suara mirip terompet. Itulah kelebihan unik anak ini.
Lokasi strategis ini memang di huni oleh Basis 616 yang terkenal dengan basisnya para jomblo bulukan yang doyan cuci mata. Karena banyak cewek SMA yang melintas di situ ketika pulang sekolah, maka kita menobatkan kios rokok di depan gereja adalah tempat kumpul kita sebelum kita berangkat ke base camp utama di Cipedak.
Gak lama ada tukang roti yang menggowes sepedah gerobak melintas di depan kami. Kontan Erik Banjir yang wajahnya selalu terlihat lapar langsung melambaikan tangan guna memberhentikan tukang roti tersebut.
Sang tukang roti berhenti tepat di depan tongkrongan kami dengan wajah sumringah karena ada pembeli rotinya.
"Bang, rotinya masih banyak?" tanya Erik Banjir berlagak mau beli.
"Masih, tinggal di pilih aja, dek?"
Tukang roti lantas membuka tutup gerobaknya.
"Awet, dong!" Erik banjir tertawa ngakak.
Tukang roti cuma cengok dengan tampang ngedongkol.
"Sialan!" gerutu Agus Tengik sambil cekikikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BADJINGAN
Non-FictionSebuah cerita pelajar STM yang tidak sengaja masuk ke dalam Tradisi Basis (Barisan Siswa) di pinggiran Ibu kota. Hingga akhirnya terjebak dalam lingkaran "musuh warisan" yang di tinggalkan oleh senior-seniornya. Dalam perjalanan menjadi anak Basis...