Di Bawah Sinar Bulan

41.3K 2.2K 745
                                    

Walau tragedi mayestik sudah lewat dua minggu yang lalu, tapi dampaknya masih terasa sampai saat ini. Peristiwa itu membuat polisi masih menjaga area Pasar Minggu dan sekitarnya. Setiap tongkrongan basis pun selalu ada beberapa orang intel dengan pakaian bebas yang berjaga-jaga di sana.

Hal ini membuat semua basis STM kami tidak dapat beroperasi. Imbasnya bukan hanya terjadi di sekolahan kami, tapi di sekolahan-sekolahan nakal lainnya juga tidak dapat bergerak. Suasana Jakarta pada bulan itu bisa di nyatakan steril dari tawuran. Tentu membuat supir dan kondektur angkot menarik dengan hati bahagia.

Sore ini sekitar jam lima sore, di Halte Cipedak gua melihat dua orang bapak-bapak ber-jacket hitam terus mengawasi tindak-tanduk kami seharian. Kami sudah tahu kalau ke dua orang itu adalah intel yang bertugas mengawasi kami.

"Kalau begini ceritanya gak asik, ah!" kata Zikri sembari membanting batang rokok ke aspal. "Anak-anak jadi pada mencar! Pedak sepi.." lanjut anak itu.

Di halte cipedak kali ini hanya ada dua belas orang anak basis. Yang lainnya tentu banyak yang mencar menghindari pengawasan polisi.

"Biarin aja, paling mereka kuat ngawasin juga sampe akhir bulan, abis itu bosen," kata Erik seraya membuka tutup pilox lalu mengocok dan mulai mencoret tiang halte.

"Eh, orang gila! Ada intel tuh, lu corat-coret malah di tangkep lagi!" Protes gua yang khawatir kalau ke dua intel itu akan menghampiri kami.

"Biarin, gua mau liat sejauh apa mereka bisa ngelarang kita," jawab Erik tak peduli.

Tapi nyatanya ke dua intel itu tidak bergerak dari tempatnya ketika Erik mulai mencoret, tulisan, "We are big familly 616 cipedak untuk santai"

Zikri menyeberang jalan ke arah warteg dengan tampang sewotnya.

"Mau kemana lu, Zik?" Tanya gua.

"Madang-madang!!!" Jawabnya berteriak seperti orang gila.

Hingga beberapa orang pejalan kaki menatap cemas anak itu.

"Gua ikuuuut, Zik!" Kata gua seraya ikut menyeberang jalan.

"Romiii tunggu!" Seru Fuji dari belakang. "Gue juga ikut!"

"Ah, ngintil mulu lu!" Protes gua.

"Gue juga laper tau," jawabnya dengan wajah memelas.

"Yaudah kita kemon! Tapi jangan ajak yang laen nanti cuma jadi laler doang," kata gua ke Fuji.

"Sip! Sip!" Katanya tersenyum sambil menunjukan jari jempolnya.

Kami bertiga makan sambil membicarakan nasib anak-anak yang di tahan pada tragedi mayestik dua minggu yang lalu. Atau tentang anak-anak STM Boedoet yang sedang menyusun strategi ingin membalas dendam atas kematian satu kawannya. Cukup lama kami mengobrol di warteg sampai suara Agus Tengik menghentikan obrolan kami.

"Oi, kang semen!" teriak Agus Tengik dari halte.

Lantas lelaki itu menyeberang jalan menghampiri Gua, Fuji dan Zikri.

Waktu itu adzan maghrib sudah berkumandang, lampu-lampu jalan mulai di nyalahkan.

"Makan kaga ngajak-ngajak lu!" protesnya sembari bertolak pinggang di pintu masuk warteg.

"Kalo ada lu perut gua jadi gak kenyang," Jawab Zikri yang terlihat sewot betul sama Agus Tengik.

Maklum setiap istirahat sekolah Agus Tengik selalu nebeng makan sama Zikri.

BADJINGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang