Pukul sepuluh menjelang siang gua tiduran di bangku kayu panjang dekat loket stasiun kereta pasar minggu. Memandang awan putih yang selalu berubah bentuknya. Hilir mudik orang-orang yang lewat tidak mempedulikan seorang remaja yang memakai seragam putih abu-abu sedang melamun di sana.
Hari ini gua cabut, karena telat masuk sekolah. Dan seharian ini gua cuma tiduran di stasiun tanpa melakukan apa pun. Kawasan Pasar Minggu selalu ramai oleh anak-anak sekolah kami dari berbagai macam Basis. Ada yang sedang duduk-duduk di stasiun, ada yang nongkrong di pasar, ada pula yang ngampar di sepanjang pinggir jalan terminal.
Di sini memang kandang kami. Entah itu anak pagi yang malas sekolah atau anak siang yang sengaja datang cepat untuk menghindari sweeping musuh. Beberapa anak basis 75 pagi juga banyak yang tidak masuk sekolah dan terlihat sedang duduk-duduk di depan terminal.
Fuji menaruh air mineral di samping gua tanpa berkata-kata, masih terlihat perban yang melingkar di tangan kanan bekas tawuran seminggu yang lalu. Gadis itu pergi masuk ke toilet. Memang sejak pagi gadis itu sudah ikut cabut sama gua.
Gua tidak bergeming dan tetap memandangi awan di langit. Gua mengartikan gumpalan awan sesuai keinginan hati, kadang berbentuk binatang, kadang berbentuk abstrak, daya khayal gua benar-bener bebas mengartikannya. Tiba-tiba gumpalan awan itu berubah menjadi wajah Ika.....
Gadis yang sudah tidak pernah gua temui lagi....
Sekarang dia dimana ya?
Apa lagi belajar di sekolah?
Terus hubungan dia sama Satria bagaimana?
Bahagiakah dia?
Sudah hampir dua minggu Ika tidak kelihatan, di sekolahan nya atau di depan gereja ketika gua nongkrong sehabis pulang sekolah. Mungkin dia marah dan kecewa sama gua.
Tapi sudahlah tidak ada yang perlu di sesali lagi..toh, semuanya sudah terjadi..tidak akan kembali lagi.
Perasaan gua ke Ika tidak berubah sedikit pun, gua masih mencintai dia, masih sayang seperti dulu. Di setiap hari-hari gua masih ada dirinya di pikiran ini. Tapi setelah dia menghina teman-teman gua, ada rasa sakit hati di dalam diri ini, walau sebagian diri gua masih ada rasa rindu yang mendalam untuknya.
Ah, sudahlah tidak ada untungnya pula gua memikirkan anak itu. Hanya memancing rindu sekaligus emosi saja.
Tiba-tiba rokok yang masih menyalah hinggap di baju gua. Otomatis gua kelabakan menyentil rokok itu agar jatuh. Kantong baju jadi bolong akibat bara api rokok menembusnya. Gua bangun guna melabrak pelaku yang berani kurang ajar melempar rokok itu.
Gua menatap orang yang melempar dengan pandangan kesal, namun sesaat wajah kesal gua berubah menjadi datar.
"Setan lu, Yong!" Umpat gua sambil menoyor kepala anak itu.
Yonky tertawa senang sekali karena berhasil mengerjai gua. "Makanya jangan bengong aje lu. Kesambet baru tahu rasah,"
"Lu kaga bisa liat orang lagi enak-enak ngayal apa?!" Protes gua kesal.
"Ah, lu paling ngayal jadi orang kaya, Rom. Kaga bakal terkabul kalo emang dasarnya susah ya susah aja. Ha..ha..ha..ha," sosok anak tinggi besar dengan kulit yang hitam tertawa lebar.
Yongky adalah anak basis 52 TOS (timur orang santai) salah satu basis strong di STM kami. Dia anak kelas tiga seangkatan sama gua dan sering sekali bikin kasus di sekolahan. Hingga ketenaran namanya menyaingi gua di ruang BP.
KAMU SEDANG MEMBACA
BADJINGAN
NonfiksiSebuah cerita pelajar STM yang tidak sengaja masuk ke dalam Tradisi Basis (Barisan Siswa) di pinggiran Ibu kota. Hingga akhirnya terjebak dalam lingkaran "musuh warisan" yang di tinggalkan oleh senior-seniornya. Dalam perjalanan menjadi anak Basis...