Segerombolan pelajar STM AL 53 kocar-kacir ketika kami turun dari kopaja 616. Sama sekali tidak ada perlawanan berarti dari mereka untuk menyambut kami yang sudah siap melayani dengan baik di jalan Nangka TB Simatupang. STM mereka sudah kehilangan nyali ketika bertemu dengan kami.
"Kabur semua!!Ha..ha..ha..ha.." kata Erik sembari tertawa.
Di tangan kanannya menggenggam klewang (celurit ukuran besar).
Lantas anak itu berjingkrak-jingkrakan di tengah jalan dengan girang nya.
Gua tertawa sendiri melihat kelakuan Erik yang seperti orang kurang waras. Pasalnya sudah sejak dari Pasar Minggu anak itu terus meneriaki nama Basis dan sekolahan di setiap jalan yang kami lalui. Entah itu kepada tukang ojek, pejalan kaki, atau pengamen. Mungkin kalau ada anak SD yang melintas juga akan di teriaki nya.
Erik mengeluarkan pilox lalu menulis nama sekolah dan basis kami di badan bus. Untuk urusan coret mencoret atau membuat grafity memang Erik jagonya. Sepanjang tembok, halte, bus, atau papan jalan, Pasar Minggu-Tanjung Barat dan sampai base camp kami di Cipedak adalah hasil karya dari tangan usil Erik Banjir.
Lantas kami semua kembali naik kopaja yang masih di tahan oleh beberapa kawan-kawan di sana. Seperti biasa gua berdiri di pintu belakang memantau situasi di jalur. Mobil terus meluncur bagaikan kendaraan perang yang tak takut akan bahaya.
"Rom, kita nongkrong di Pedak apa balik?" Teriak Erik dari pintu depan.
"Balik aja Rik, dari kemaren kita pulang malem mulu. Gak enak sama orang Rumah,"
"Oke..gua apa kata yang punya Basis aja deh. Ha..ha..ha..ha.." Erik kembali tertawa seperti orang gila.
Gua hanya menyeringai mendengar kata-kata Erik banjir.
Sebenarnya gua bukan orang yang ingin jadi pentolan Basis atau ingin dianggap sebagai pemimpin oleh anak-anak Basis 616 CUS. Bahkan gua bukan orang terkuat di Basis ini. Tapi entah kenapa selama perjalanan kami yang hampir tiga tahun ini anak-anak seangkatan mulai banyak yang segan sama gua. Tanpa sadar mereka selalu mendengarkan perintah dan mengikuti gua. Padahal gak pernah terlintas sedikitpun di dalam pikiran gua ingin memimpin mereka.
Kopaja terus melaju bagaikan ular yang merayap. Melewati sepanjang Jalan Tanjung Barat hingga akhirnya menyeberangi pintu kereta kampus Iisip.
Tepat di depan kampus Iisip setelah kami melewati jalur kereta kami di kagetkan dengan pecahan kaca di bagian belakang kopaja.
PRAAAAANNNNKKK!!!!!!
Secara tiba-tiba dari belakang bus, ada puluhan pelajar menyerang kami bagaikan ombak yang menyapu pantai.
Bukan hanya dari belakang. Tapi serangan hadir juga dari depan, pelajar-pelajar musuh mulai menakoli kaca-kaca bus. Terdengar jeritan histeris penumpang yang langsung bertiarap. Mereka takut terkena imbas lemparan batu.
"Turunin woi! Turunin!" Seru gua kepada teman-teman lainnya.
Kami tahu kalau kami diam di dalam bus adalah langkah yang paling fatal. Karena kami tidak dapat melakukan apa-apa selain bertahan dan pastinya menjadi bantalan atau serangan bertubi-tubi dari musuh. Maka dari itu keputusan yang paling baik adalah segerah turun dan membalikan serangan.
Akhirnya kami semua turun guna menyambut musuh yang terus menyerang.
Dua kubu bentrok dan membentuk pusaran kematian.
Gua dan Erik banjir maju paling depan menghadapi tiga orang yang bersenjatakan pedang panjang. Salah satu nya orang berkulit hitam dengan tubuh yang tinggi mengayun-ngayunkan pedang ke tubuh gua.
KAMU SEDANG MEMBACA
BADJINGAN
Não FicçãoSebuah cerita pelajar STM yang tidak sengaja masuk ke dalam Tradisi Basis (Barisan Siswa) di pinggiran Ibu kota. Hingga akhirnya terjebak dalam lingkaran "musuh warisan" yang di tinggalkan oleh senior-seniornya. Dalam perjalanan menjadi anak Basis...