Ketika sampai di dalam kelas gua langsung duduk di bangku paling belakang sembari melamun. Beberapa anak yang penasaran bertanya-tanya tentang masalah barusan. Gua jawabnya simple aja, lu tanya sendiri gih sama si Rani! Dan hal itu cukup efektif untuk membuat mereka terdiam.
Beberapa saat kemudian gua melihat Yusuf berjalan di depan kelas. Sesuai dengan perkiraan gua pasti si killer itu lapor ke kepala sekolah yang di kenal dengan julukan Big Boss manusia paling terkejam dalam sejarah STM kami!
"Romi, kamu dipanggil pak kepala sekolah sekarang juga," kata Yusuf dengan nada berwibawa. Mungkin lebih tepatnya sok di wibawakan.
"Ada perlu apa manggil-manggil gue?"
"Mana saya tahu? Saya cuma di perintah big boss," jawabnya masih menjaga nada wibawanya.
Gua sedikit tertawa karena Yusuf mulai ikut-ikutan kami memanggil kepala sekolah dengan julukan Big Boss. Dan kadang gua suka geli sendiri kalau memperhatikan gayanya Yusuf yang penampilan dan suaranya suka di buat wibawa ketika berbicara secara formal dengan kami.
"Bapak harus tahu dong apa yang di instruksikan oleh Big Boss! Sana balik lagi, tanya sama beliau, ada urusan apa mangil-manggil gue!"
Wajah Yusuf langsung pucat.
Orang itu jadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Aaaah, ayolah Rom..nanti gua kena marah nih," Hancurlah wibawanya yang selama ini sudah sekuat tenaga di pertahankan.
Kontan seisi kelas mulai tertawa melihat gaya aslinya keluar.
Kami memang akrab betul dengan Pak Yusuf. Kadang kala kami suka ngerokok bareng setelah pulang sekolah di warung depan gereja. Orangnya baik dan suka bercanda, walau sering banget minta di beliin rokok, tapi terlihat dia itu sangat sayang dengan kami dan selalu membantu kami jika ada masalah dengan sekolah. Maka dari itu kami segan dan hormat sama pak Yusuf.
"Iye Suf..gitu aje ngambek lu. Gua pan cuma becanda,"
Gua bangkit lalu berjalan bersama Yusuf keruang kepala sekolah. Gua merasa seperti anggota dewan yang di kawal oleh Bodyguard. Tapi bedanya bodyguard yang ini pakai seragam satpam dengan senjata pentungan dan priwitan.
Sesampainya di depan ruang kepsek gua langsung masuk ke dalam dengan sikap datar. Di situ sudah menanti Big Boss dan Ibu Rani dengan wajah-wajah dingin. Gua mengangguk hormat kepada Pak kepala sekolah dan Ibu Rani.
"Selamat sore," kata gua sopan.
"Tau kenapa kau kupanggil ke sini?"
"Tidak tau pak. Tolong saya di beritahu,"
"Kau makin tidak tahu aturan! Kau melanggar disiplin sekolah, kau telah berani menghina Ibu Rani di depan umum. Paham kau?" teriak Big Boss galak.
"Kurang begitu paham, Pak. Harap diperinci satu persatu. Kapan saya menghina dan di bagian yang mana menghinanya?" Gua bertanya balik dengan nada datar.
Pak kepala sekolah terdiam sambil menahan kesal.
Ibu Rani mengerutkan dahinya.
"Kamu tadi merokok di luar sekolahan kan?!" kata Ibu Rani.
"Oh, kalau itu betul, saya memang merokok di luar sekolah saat jam istirahat," kata gua sambil menampilkan wajah serius dengan kepala mengangguk-angguk.
Kedua guru itu saling memandang.
Mulut Bu Rani melongok, dia kehilangan kata-kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
BADJINGAN
Non-FictionSebuah cerita pelajar STM yang tidak sengaja masuk ke dalam Tradisi Basis (Barisan Siswa) di pinggiran Ibu kota. Hingga akhirnya terjebak dalam lingkaran "musuh warisan" yang di tinggalkan oleh senior-seniornya. Dalam perjalanan menjadi anak Basis...