Woohyun terbangun dikala matahari berada di puncak ketinggian. Nyonya Nam tidak tega membangunkan sang putra yang terlihat letih setelah sepanjang malam mengigau yang disertai sesak nafas. Nyonya Nam juga tidak meninggalkan sisi Woohyun, takut jika putranya mengalami mimpi buruk lagi. Wal-hasil, Nyonya Nam menyerahkan semua tanggung jawabnya pada sang sekretaris. Wanita itu masih terlihat cantik meskipun belum mandi, masih mengenakan baju tidurnya dan duduk berselanjar sambil ditemani sebuah majalah ditangan. Di samping kirinya, secangkir teh ikut menemani di atas nakas bersama sepiring potongan buah dari berbagai jenis. Santai namun waspada. She's The Queen of SG.
Woohyun membalik tubuhnya menghadap langit seiring lenguhan keluar dari bibir tebalnya. Sontak Nyonya Nam meletakan majalah dan menatap putranya penuh kasih. Begitu mata Woohyun terbuka sempurna, ia berucap. "Kamu sudah bangun,", sambutnya hangat tanpa menyudahi senyum di wajahnya.
Woohyun melengkungkan alisnya heran. "Eomma di sini? Apa yang Eomma lakukan?", tanyanya seraya menarik tubuh bagian bawahnya ke belakang sementara punggungnya bersandar pada bantal yang disusun sang Eomma.
Nyonya Nam tidak segera menjawab dan malah memanggil Choi-Ahjumma untuk membawakan sarapan putra bungsunya ke kamar. Tak berselang lama, kepala pelayan datang membawa nampan diikuti seorang pelayan lainnya.
Woohyun memandang heran ketiga wanita yang berada dalam kamarnya, bergantian mengikuti gerak ketiganya. Karena ia tidak terbiasa mendapat perhatian seperti itu. Semua keinginan akan haus kasih dan sayang dari orang tuanya sudah ia buang lama bahkan sebelum menginjakkan kaki di Jepang.
"Kalian bisa pergi. Terimakasih, Ahjumma.", kata Nyonya Nam mengakhiri keberadaan 2 wanita staf rumahnya yang kemudian membungkuk hormat sebelum meninggalkan ruangan.
Sangatlah manis mendengar seorang majikan mengatakan terimakasih pada pelayannya, yang berarti kehormatan pelayan itu tidak direnggut darinya. Itulah salah satu alasan mengapa Choi-Ahjumma betah bekerja dengan keluarga Nam meski kebanyakan diwarnai teriakan dan kebencian. Tapi wanita setengah abad itu tahu bahwa semua itu adalah bentuk bagian dari cinta yang tak bisa diungkapkan oleh setiap penghuni rumah untuk satu sama lain. Sebuah cinta yang tak pernah diminta namun terus diberikan walau penolakan tak jarang didapatkan.
Nyonya Nam mengangkat sendok ke arah Woohyun, meminta sang anak membuka mulut, tapi bukan Woohyun namanya jika namja itu menurut dengan mudah. "Eomma tidak bekerja? Jam berapa sekarang?", tanyanya sambil meraih jam tangannya yang tergeletak di samping lampu tidur setelah sadar kalau pakaian yang dipakai Eomma-nya masih sama seperti semalam, memaksa kerutan didahinya bertambah.
"Eomma sudah memberitahu pihak sekolah kalau hari ini kamu tidak masuk. Jadi kamu tidak usah khawatir!", kata Nyonya Nam begitu Woohyun melebarkan mata ketika mendapati jarum jam berhenti diangka 12.
Woohyun menghela nafas sembari menyandarkan punggungnya kembali, mau marah pun percuma, terlanjur malas berdebat. Sedangkan Nyonya Nam senantiasa menunggu. Akhirnya Woohyun membuka mulut dan suapan pertama sukses disusul suapan-suapan berikutnya.
Tak butuh waktu terlalu lama untuk menghabiskan sepiring nasi beserta lauknya. Nyonya Nam tidak menerima penolakan berupa apapun. Woohyun terpaksa menghabiskan semuanya tanpa sisa daripada harus mendengar Eomma-nya mengeluh.
"Sekarang kamu mandi dan bersiaplah. Eomma juga akan bersiap-siap.", Nyonya Nam turun dari tempat tidur setelah mengusap puncak kepala putranya.
"Oddie??", tanya Woohyun. Ia terlanjur malas untuk keluar dari rumah.
"Mencari hadiah! Hari ini kan ulang tahun Samchon-mu.".
KAMU SEDANG MEMBACA
The COVENANT
FanfictionAnak laki-laki dan anak perempuan! Manakah yang lebih penting??? Kisah tentang keluarga Kaya raya pemilik STAR GROUP yang memiliki dua pewaris yakni satu Pangeran dan satu Putri. Anak laki-laki selalu dianggap lebih tinggi oleh sang penguasa, hanya...