Bab. 13 (What should I do)

31 8 2
                                    


Rarka Aditya D2 in Dimension 1

Rasanya sangat aneh, aku merasakan hawa dingin menembus seluruh kulitku, dingin sekali...ditambah lagi aku tidak bisa bergerak, ada apa ini...?, kenapa tubuhku tak bisa bergerak...?, perlahan aku membuka mataku, ah...berat..., rasanya seluruh tubuhku mati rasa. Saat aku bangun, aku sangat terkejut mendapati kaki dan tanganku terikat oleh tali.

"hmm...!!!???" (Hah...?!!)

"Shhhh, jangan berisik..., Diani masih tidur..., tenang saja aku hanya ingin menanyakan sesuatu...,"   kata Shabrina sambil melakukan kebiasaannya, apalagi kalau bukan membenarkan letak kacamatanya.

"Hmmm...mmm...hm..??!!,"  (Tapi kenapa harus seperti ini...??!!)  gumamku dengan mulut yang masih ditutupi selotip.

"Yah...habisnya tadi malam aku tidak bisa tidur, memikirkan apa yang akan kau lakukan pada Diani selama aku tidur..."

"Hhhmmm??!!,"  (Jadi...??!!)

"Aku mengikatmu..."

Aku sungguh kagum dengan kemampuannya yang dapat mengerti perkataan orang, bahkan dalam keadaan mulutku yang terselotip begini.

"Yah mudah saja sih, aku kan masih bisa membaca ekspresimu.., lalu memperkirakan apa yang akan kau katakan..." 

Oke, dia psikopat...!!

"Wajahmu seakan berkata, astaga dia benar-benar psikopat, tunggu aku tidak punya waktu untuk ini, aku hanya ingin menanyakan sesuatu padamu...tentang seseorang yang kau sebut profesor itu..."

"Hmm-hmm...,"  aku menganguk cepat, merasa tak sabar dengan yang ingin dia katakan.

"Orang yang kau sebut profesor itu, apa dia...memberikanmu...ini...?"

Dia memperlihatkan sebuah kalung berliontin D0.

"Hmm...hmmm...hm...hmhmmm....???!!!,"  (Iya aku punya..., dan dari mana kau mendapatkannya...?), aku mengangguk dengan cepat sampai kepalaku terasa pusing karenanya.

Matanya pun membesar, berbeda dari ekspresi dia yang biasanya selalu datar. Aku melihatnya bergumam sambil menundukkan kepalanya.

"hhmmm...?,"  (apa..?).

Dia berjalan mendekatiku dan melepaskan selotip dari mulutku, serta tali yang sedari tadi menyumbat peredaran darah pada tanganku.

Setelah lama menatapku lekat...dia membuka kacamatanya.

"Kau yakin tidak mengenalku...?"

"Aku tidak-...,"  kataku sambil menyipitkan mataku.

Mataku membesar saat aku menyadari, mata coklat terangnya yang sangat mirip dengan Profesor.

"Jangan bilang kau-..."

"Sebenarnya aku tidak tahu kenapa kita dikumpulkan seperti ini..., yang ku tahu, aku hanya tak bisa kembali ke dimensiku setelah aku berada disini..."

"Apa Profesor memberikanmu sebuah misi untuk diatasi disini...?"

"Misiku...ah benar...mungkin sekarang misiku sudah selesai, aku tidak tahu harus sedih atau senang dengan ini...," aku melihat ekspresi wajahnya berubah sedih.

Perasaan apa ini..., aku merasakan sesak pada dadaku. Sungguh perasaan yang kurasakan saat ini benar-benar terasa aneh.

"Rarka..., ah bukan, Ayah...apa kau benar-benar menyukai Diani...?," dia tertawa masam.

"Apa sekarang kau sudah puas...?, kau bahkan mengirim anakmu sendiri ke dunia antah berantah...!!," suaranya bergetar,

Terlihat sekali dia akan segera menangis.

Aku tak bisa berkata apa pun, aku terlalu bingung harus merespon perkataannya seperti apa. Apa aku salah dengar....?, atau baru saja dia memanggilku dengan sebutan Ayah.

"Bodoh sekali aku mengatakannya padamu yang seperti ini..., bagaimana pun kau tidak akan mengerti-.."

"Ada apa ini...?"

Aku mendengar suara dari arah kamar Diani.

"Shabrina kau kenapa menangis...?, apa yang sebenarnya kalian lakukan...?!"

Aku mendengar nada panik pada suara Diani.

"Diani....aku tidak apa-apa..."

Diani menyatukan kedua alisnya dengan geram, mengepalkan tangan, serta wajah tertunduk.

"Sebenarnya ada apa dengan kalian...?, apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku...?, kenapa kalian tidak mau membertahuku sedikit pun...?"

Sudah kuduga semua akan runyam seperti ini. Aku kira aku sudah tidak ada pilihan, akanku katakan yang sebenarnya pada Diani.

"Diani sebenarnya...(Skip>>)"
                             
                            *----*

Diani hanya menatapku dengan aneh..., sudah jelas begitu, setelah ini aku akan di anggap sebagai orang gila, padahal aku tahu akan begini akhirnya.

Sekarang semua sudah terlambat, biarlah Diani tahu yang sebenarnya, mungkin hanya sampai disini saja kemampuanku.

"Lalu...apa hubungannya dengan Shabrina...?"

Sayangnya dia menanyakan sesuatu yang bahkan juga tidakku tahu. Seketika semua senyap, tak ada satu pun orang yang bicara.

Satu detik...
.
.
.
Dua detik...
.
.
.
Tiga detik...

"Haloo...?, apa kalian berdua baik-baik saja...?"

Perempuan berkacamata itu melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku tersentak kaget, seperti baru saja tertidur.

"Ada apa tadi...?"

"Kenapa kita berkumpul seperti ini...?,"  Diani bertanya sambil menggaruk kepalanya.

"Aku tidak ingat...," kataku.

"Dari pada itu..., apa kalian sudah tahu sekarang jam berapa...?"

Dia mengarahkan telunjuknya pada jam dinding. Aku begitu tidak percaya saat melihat jam itu.

"Jam, 06.00...?!!!,"  serempak aku dan Diani berteriak.

"Sebaiknya kalian cepat..., atau gerbang sekolah akan segera di tutup...!"

Aku dan Diani berlarian kesana kemari seperti kucing gila, bahkan kami sempat bertengkar tentang siapa yang akan lebih dulu memakai kamar mandi.

Aku merasa seperti telah melewatkan sesuatu yang penting..., entahlah...sebenarnya apa itu...???.

Another Dimension to be Continue...

Another DimensionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang