Bab.2 (Rarka Aditya Dimension 2)

81 13 32
                                    


Setelah berberes-beres aku menyandang tas sekolah ku dan berpamitan untuk pergi ke sekolah.

"Baiklah, ibu aku pergi..."

"Iya hati-hati..."

Aku membuka pintu dan dikejutkan oleh seseorang yang sedang berjongkok di depan pintu dengan rambut panjang yang menutupi wajahnya. Dia adalah temanku sejak kecil.

"Diani...?!, apa yang sedang kau lakukan...?"

Dengan suara bergetar kedinginan dia menjawab

"Aku se..sedang menunggumu... a..ayo kita berangkat sekolah bersam..a..."

"Kenapa kau tidak mengetuk pintu dan masuk...?, diluar sini kan dingin...!!," omelku padanya.

"A..aku masih tidak bisa bertemu ibumu, aku masih canggung soal yang waktu itu...,"
dari pada suara kedinginan kali ini, nada suaranya lebih kepada suara orang yang cemas atau semacamnya.

"Baiklah ayo kita berangkat ke sekolah...!," serunya sambil menyeretku keluar rumah.
Di perjalanan aku mulai mengingat kejadian kemarin sore.

(kejadian kemarin sore)

"Tidak bisa dipercaya padahal ramalan cuaca bilang hari ini cerah!," celotehnya dengan mulut penuh dengan sup.

"Pilih satu..., makan atau bicara, jangan lakukan keduanya...!," kataku.

"Huh ini semua kan salahmu...bukanya menungguku disekolah, kau malah bergembira riang dan pulang sendiri dengan payung besarmu itu...!," sindirnya sambil cemberut.

"Sudah kubilang kan...?, aku tidak tahu kalau kau belum pulang..., lalu siapa yang gembira riang...?!"

Dia mulai berceloteh lagi sambil menutup telingannya.

"La..lala...aku tidak mau mendengar alasan klasik dari penghianat sepertimu..."

"Huh...iya-iya lain kali aku akan memastikan kau tidak akan kehujanan seperti ini lagi..., sekarang keringkan badanmu...," kataku sambil memberikan handuk padanya.

"Terima kasih..,hmm...Rarka..?"

"Apalagi...?," jawabku sambil membereskan mangkuk sup nya.
Dia pun tersenyum dengan sangat mencurigakan.

"Coba sekarang kau pejamkan matamu..."

"Apa yang ingin kau lakukan...?," tanyaku cemas.

"Sudah lakukan saja apa yang....aaah..!!," bruuk...suara dia terjatuh menibaniku karena terpeleset tumpahan air yang ada dilantai.

"Ibu pulang.., oh..!,"
terlihat dari ekspresi ibuku kalau dia kaget karena posisi kami berdua yang sedikit aneh.Aku berusaha menjelaskan keadaanya,

"I...ibu...ak...aku bisa jelaskan..."

"Huhu...ibu tau kalian sedang ada dimasa itu..tapi kalian masih SMA, jadi belum boleh ya...?," kata ibuku sambil tersenyum.

Salah pahaam...!!.Aku bertatapan dengan Diani, dari wajahnya aku bisa melihat kalau dia sebenarnya tidak bermaksud begitu.

"Sa..salah paham...ini tidak seperti itu...aku..aku terpeleset...!," namun ibu cuma tersenyum layaknya orang yang tahu segalanya.

(kejadian sekarang)

Mengingat kejadian itu aku jadi tertawa.

"Hii...jangan tertawa...!!," katanya sambil mencubit tanganku.

"Aw...aw..."teriakku kesakitan.

"Baiklah...baiklah maaf...!!," sambungku sambil berusaha menahan tawa.

Setelah lama terdiam, timbul satu pertanyaan di benakku.

"Jadi..memangnya saat itu apa yang ingin kau lakukan...?," aku pun menatapnya.

"Oh iya...sebenarnya...,"
Dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Lalu dia menyodorkan sebuah kalung padaku.

"Aku ingin memberimu ini..."

"Apa ini...?"

"Sebuah kalung...," jawabnya singkat.

Mendengar penjelasan tak berguna itu aku pun menghelakan nafas, lalu tersenyum.

"Aku menyebalkan ya...?," katanya dengan membalas tersenyum.

"Tidak apa-apa aku sudah terbiasa kok...," balasku tersenyum ramah.

"Aku mendapatkannya...," serunya tiba-tiba.

"Apanya...?" tanyaku.

"He..he..Apa kau mau dipukul...?" katanya mulai tersenyum lagi.

"Tidak, terima kasih..."

"Maksudku...darimana kau mendapatkannya...?," tanyaku lagi, kali ini berusaha untuk serius.

"Dari jalanan..," jawabnya singkat.

"Wah mewah sekali...," decakku kagum akan ketulusannya.

"Terima kasih, kalau kau tidak mau aku bisa membuangnya...," katanya sambil mengangkat tangannya ingin melempar kalung itu.

Dengan segera aku merampas kalung itu.

"Hei...tidak, tidak baiklah aku akan menerimanya...!!"

Menyadari sesuatu aku pun berkata,

"Kalung ini ada liontinnya, hmm D2...?," tanyaku bingung.

"Apa maksudnya ya...?," katanya sambil terus menatap kalung itu.
Setelah lama memandangi kalung itu aku pun berkata,

"Tapi, walau begitu kalung ini menurutku sangat bagus..."

Tak terasa kami telah sampai di jalan utama, aku dan Diani menengok ke kiri dan kanan bersiap untuk menyeberang, karena kebetulan sekolah kami ada di seberang jalan. Sekolah kami dekat jadi kami tidak memerlukan kendaraan apapun, dan memilih berjalan kaki untuk datang ke sekolah.

Saat jalanan mulai sepi Diani berlari untuk menyeberang,

"Rarka ayo...!" teriaknya sambil menengok ke belakang.

Dari kedua arah jalanan, aku melihat mobil yang sedang melaju sangat cepat.

"DIANI....AWAS....!!!"

Rasanya ingin sekali aku menghentikan waktu agar dapat menyelamatkannya, namun terlambat, saat aku sadar dari suara dentuman tabrakan kedua mobil itu...DIANI sudah terkapar ditengah jalan, dengan benda merah cair yang terus mengalir dari tubuhnya....

Rarka Aditya Dimension 2 to be Continue..

Another DimensionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang