Ep. 01 | Tirza | Mengapa Ibu pilih kasih?

480 12 0
                                    


(Gambar oleh Jacob Morrison)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Gambar oleh Jacob Morrison)

Tirza. Kamis, 2 Januari 2014.

Apa impian terbesarmu?

Buatku, itu adalah kebebasan. Kebebasan memilih apa yang disukai. Kebebasan melakukan apa yang dikehendaki. Kebebasan untuk berkata tidak kepada beberapa perintah Ibu yang tidak ingin kuturuti. Keluhanku pasti terdengar seperti remaja pemberontak. Berapa usiaku, tanyamu? Dua puluh dua. Usia yang sudah terlalu tua untuk dipilihkan bajunya, namun itulah yang dilakukan Ibu setiap hari.

"Itu kan baju rumah, Tirza. Nggak pantas dipakai kerja," serunya sambil memilah-milah baju di lemari kamarku. Aku melepas lagi kaus berkerah dan celana jeans yang kukenakan. Ibu menyodorkan blus warna pastel dan rok yang senada. Rok yang, seperti biasa, minimal panjangnya pas selutut. Lebih pendek dari itu, akan digunting oleh Ibu.

"Ibu juga sudah siapkan sepatu hak rendah di pintu. Jangan lupa pakai lipstik sebelum berangkat."

Ingin kuprotes tapi waktu sudah mepet. Agar bisa berangkat kerja tepat waktu, paling gampang ya tinggal mengiyakan.

Petuah Ibu mungkin tepat kalau aku bekerja jadi penjaga kios kecantikan di supermarket, pegawai bank, atau pramugari. Nyatanya, aku kerja jadi staf administrasi di dealer sepeda motor. Kaus berkerah dan celana jeans itulah dresscode harian pegawai back office. Hanya salesman dan sekretaris Pak Bos yang harus selalu berpakaian smart casual.

Aku berangkat kerja dibonceng Bapak yang juga mau berangkat kerja ke Balaikota Surakarta. Kebetulan, kantor kami searah.

"Sudah, Nok?" tanya Bapak memastikan aku sudah duduk nyaman di jok belakang. Aku mengiyakan. Vespa melaju. Tak kencang, namun aku menggenggam sisi kanan-kiri jaket Bapak. Kebiasaanku sejak kecil. Vespa ini sudah seperti adikku sendiri. Ia dibeli tahun 1996, sementara aku dan Tisha lahir tahun 1990.

Ah, Tisha. Saudara kembarku yang serupa tapi tak senasib. Takdir menentukan akulah yang jadi kakak, sekaligus akulah yang pencemburu. Tisha selalu mendapatkan apa yang aku inginkan, diantaranya yaitu kebebasan. Ibu hanya menasihatinya seputar pakaian yang pantas dikenakan perempuan, bukan mengaturnya. Ibu hanya menetapkan jam malam untuknya, bukan menetapkan mana teman laki-laki yang boleh atau tidak boleh bertamu ke rumah.

Diskriminasi ini juga terjadi ketika aku dan Tisha memilih tempat kerja. Tisha direstui menjalani program management trainee di salah satu bank. Bapak dan Ibu memang mengantarnya ke stasiun ketika Tisha akan menjalani pelatihan selama sebulan di Surabaya. Lalu, berkata akan membantu mencarikan kost kalau Tisha sampai ditempatkan di luar kota. Yet, that's it.

Bandingkan dengan reaksi Ibu saat aku melamar program serupa di salah satu jaringan supermarket lokal.

"Kantormu nanti di mana?"

"Tergantung penempatan, Bu. Kantor pusatnya di Jogja tapi cabangnya ada di seluruh Jawa Tengah."

"Ndak boleh," kata Ibu sambil melipat baju yang baru disetrika.

Aku menatap langit-langit. Reaksinya persis seperti yang kuduga.

"Kenapa, Bu? Gajinya bagus lho."

"Bukan bidang kuliah kamu, tho? Lha, sayang ilmumu."

"Kalau begitu, seharusnya Ibu juga menyuruh Tisha jadi guru matematika." Kembaranku itu lulusan matematika murni.

Ibu berlalu membawa sekeranjang pakaian bersih yang sudah terlipat rapi. Apa iya, ibu segitunya mementingkan kecocokan antara bidang kuliahku (Sastra Inggris) dengan pekerjaan? Maka, aku mencoba kesempatan lain. Kubilang aku diterima menjadi pengajar bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus di Kampung Inggris.

"Itu di mana?" tanya Ibu.

"Pare, Bu. Kediri."

"Ndak usah."

"Lho, kenapa?"

"Prospeknya nggak bagus itu."

Seolah pekerjaanku yang sekarang jauh lebih menjanjikan saja. Semasa besar di Solo, pilihan lapangan pekerjaan yang kutahu bisa dihitung jari: PNS, pegawai bank, dosen, pengusaha, atau bekerja untuk pengusaha lokal, yang bisa jadi tak akan naik jabatan meski setelah sepuluh tahun masa kerja. Pekerjaanku saat ini sepertinya masuk kategori terakhir.

Makin lama, aku makin yakin kalau Ibu hanya tak ingin aku meninggalkan Solo. Kesalnya, kenapa hanya aku? Padahal, Ibu tak pernah menyetir Tisha. Waktu SMA, aku pernah bertanya "mengapa".

"Karena Tisha bisa dipercaya," jawab Ibu. Aku, yang biasanya hanya manggut-manggut manut, kali itu meledak. Suaraku ketus saat bertanya, "Jadi, aku nggak bisa dipercaya?"

"Kok mbentak sih, Nok," komentar Bapak yang mendengarkan pembicaraan kami.

Aku tak mengacuhkannya. "Sadarkah Ibu kalau selama ini Ibu pilih kasih? Kalau bukan karena kami kembar, aku bakal mikir kalau aku sebenarnya anak pungut."

Aku tak ingat persis kata-kata yang kami lemparkan ke satu sama lain setelahnya. Yang jelas, penuh teriakan, tangisan, dan caci maki. Tisha sampai menahan Ibu agar tidak menamparku, sedangkan Bapak menahanku yang menunjuk-nunjuk wajah Ibu. Setelahnya, aku dan Ibu tak saling bicara tiga hari penuh. Di pagi hari, aku pura-pura bangun terlambat agar tak perlu sarapan bersama di meja makan. Dari kamar, kudengar Bapak bertanya, "Tirza nggak ikut sarapan?" Ibu, yang biasanya membangunkanku kalau telat shalat Subuh, pura-pura tidak tahu. Di malam hari, aku baru makan setelah Ibu masuk kamar.

Ternyata diam-diaman seperti itu menyiksa. Belajar dari pengalaman, menuruti keinginan Ibu membuat hidupku jauh lebih mudah, rumah lebih damai, juga Ibu senang. Win-win solution, kan? Lagipula, walaupun kadang-kadang sulit kuterima pada awalnya, masukan Ibu nggak pernah salah.Bukankah orang tua lebih berpengalaman, serta selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya? 

***

Akhir dari Episode 01.

"Solo To Glasgow" adalah buku ke-4 Shinta Yanirma.

Sekarang hanya tersedia di Wattpad!

Terbit setiap Sabtu dan Minggu.

Solo To GlasgowWhere stories live. Discover now