Ep. 14 | Tirza | It wasn't love

120 6 0
                                    

(Foto oleh Sweet Ice Cream Photography) 

Tirza. Selasa, 13 Oktober 2015.

Baru dirasani, orangnya pulang. Panjang umur. Aku terkesiap saat ia memeluk pinggangku untuk menurunkanku dari kursi. Saklar A?

"Sana ganti baju dulu," katanya. Aku keluar kamar tak lama kemudian mengenakan celana jeans, sweater, jaket, dan sepatu kets. Setelan yang sama seperti setiap kali aku pergi ke supermarket.

Adrian sendiri berpakaian smart casual. Ia menatapku dari ujung kepala ke kaki. "Nggak ada baju lain?"

"Nggak ada," gelengku.

Ia berpikir sebentar. "Ya udah."

Kami naik subway sampai St. Enoch. Adrian masih belum mengungkap tujuan kami malam ini. Aku senang saja bisa melihat pusat kota. Aroma batu-batu tua menguap ke udara selepas hujan yang baru reda. Sinar kuning hangat lampu jalan menerangi gedung-gedung gradasi warna pasir, berlatar langit kelabu. Pejalan kaki lalu-lalang mengenakan mantel warna hitam atau cokelat. Pemandangan sore ini ibarat surga visual para pecinta warna monokrom sepertiku. Suasana hatiku membaik.

Adrian membukakan pintu kaca sebuah toko pakaian, dan menyilakanku masuk duluan.

"Ngapain kita di sini, Mas?"

"Buat antar kamu belanja. Pilih apa saja yang kamu suka," katanya.

"Kenapa? Tiba-tiba banget." Saking terkejutnya, aku bicara blak-blakan. Aku memperhalus pertanyaanku, "Apa ada acara khusus malam ini?"

Ia mengangkat tangan kiriku dan menunjuk cincin kawin di sana. "Ini acaranya. Hari ini tanggal tiga belas."

Aku bengong, tak menyangka Adrian ingat.

"Suhu udara mulai turun dan akan terus tambah dingin, Tirza. Kamu butuh sepatu boots dan mantel yang lebih tebal."

"Aku... bisa beli sendiri, kok." Sejujurnya, aku canggung.

"Gimana kamu mau beli baju hangat kalau terlalu sibuk mengurusi aku. Aku harap belum terlambat untuk mulai membalas kebaikan kamu selama ini."

"Oke." Aku berdehem. Tenggorokanku tercekat karena haru. Ternyata Adrian peduli.

Ia memanggil petugas untuk mencarikan ukuranku. 

Adrian memang begitu. Setiap kami jalan berdua, ialah yang selalu berbicara. Katanya, "Aksen mereka sulit dimengerti. Apalagi, kamu kan baru pernah ke luar negeri, nanti kamu bingung." Aneh, sih. Aku kan selalu ke supermarket sendirian. Di samping itu, Adrian tak tahu, aku pernah menjadi buddy yang menemani mahasiswa program pertukaran dari UK saat kuliah dulu (aku tak aktif berorganisasi, tapi saat itu fakultas kami kekurangan orang; dan dosenku merekomendasikanku). Cuma seminggu, tapi lumayan, kan? 

Ya, sudahlah. Pokoknya, setiap bersamanya, aku tinggal duduk manis dan menerima.

Aku menerima sepatu boots hitam, mantel cokelat, dan gaun yang ia pilihkan. "Aku suka desainnya. Anggun, klasik, subtle. Pas dengan badan kamu," katanya meyakinkanku.

Namun label harganya membuatku syok. Total harga ketiganya setara dengan biaya liburan berdua ke Edinburgh tempo hari. "Mas, gimana kalau kita liat toko lain dulu?"

"Waktu kita nggak banyak. Semua toko di sini tutup setengah jam lagi. I can afford this, Tirza, jangan khawatir," ia mengedipkan sebelah mata lalu berlalu ke kasir. 

Adrian meminta izin kepada staf perempuan agar aku bisa berganti pakaian di ruang ganti. Saat menatapku, sorot mata staf itu seolah berkata, 'What a lucky girl'.

Ternyata kejutan dari Adrian masih berlanjut. Kami berjalan melintasi Queen Street menuju St. Vincent Place, kali ini bergandengan tangan. 

We point at everything and nothing. We talk about everything and nothing. We laugh at everything and nothing. Indeed, the joy in life comes from appreciating the small things. Hari perlahan berganti malam. Di bawah tiang lampu di salah satu persimpangan yang sunyi, kami berciuman. Kalau ini bukan bahagia, aku tak akan percaya kebahagiaan itu ada.

Kami sampai di St. Vincent Place. Adrian menuntunku melewati tangga yang diapit pilar-pilar raksasa menuju pintu masuk Treading House. Kandelier yang menggantung dari langit-langit tinggi di atas bar bahkan jelas terlihat dari trotoar lewat fasad jendela setinggi tiga meter.

"Selamat tanggal tiga belas, Istriku," kata Adrian sambil mengangkat gelas wine-nya sebelum kami memulai three-course dinner.

"Sama-sama, Suami," aku menerima ajakannya bersulang.

Aku tak berhenti tersenyum sampai kami pulang. Berjalan saling merangkul, kelewat ceria karena sebotol wine yang dibagi berdua. Di depan flat, Adrian mendekapku erat. Ia terus menggelayutiku sambil menaiki tanggal ke flat kami, nomor 1/2.

Boots, mantel, dan gaun baruku tanggal di balik pintu yang baru ditutup. Dadaku berdebar setelah setelah sekian lama. Hujan sepetang menghapus kemarau berpekan-pekan, aku rela memaafkan segalanya untuk satu malam yang sempurna. I love his A switch.

***

Memar di dadaku tinggal samar-samar. Sebentar lagi hilang. Adrian sudah minta maaf. Katanya, ia agak mabuk saat itu. Sehingga ia menyakitiku tanpa sengaja. Aku tak ingat ia sedang mabuk saat itu. Bisa jadi aku salah ingat. Ingatan manusia kan begitu rapuh. Sebagian yang kuingat mungkin benar, sementara sebagiannya lagi mungkin sudah dimodifikasi otakku tanpa sengaja.

Mungkin karena ini sudah kesekian kalinya, aku jadi terbiasa. Aku mulai menerima kalau Adrian bisa sesekali lepas kendali kalau kondisinya sedang tidak stabil (termasuk saat ia terlalu bersemangat), atau ketika ia tahu aku tak melanggar peraturannya. Barangkali, wataknya memang begini. 

Ya sudahlah. Yang bisa kulakukan adalah memastikan semua berjalan sesuai kehendaknya. Aku menganggap fungsiku seperti alat penjaga temperatur ruangan agar tetap di rentang ideal. Tak boleh kurang dari 18°C karena terlalu dingin. Tak boleh lebih dari 25°C karena terlalu panas. Kuanggap Adrian adalah iklim gurun dengan temperatur siang-malam yang ekstrim, sehingga aku, sang stabilisator suhu dalam ruangan, harus bekerja ekstra keras.

Jauh di dalam hati, aku sadar. Ini bukan cinta.

**********

Akhir dari Episode 14.

"Solo To Glasgow" adalah buku ke-4 Shinta Yanirma (simak karya lainnya di yanirma.weebly.com/work).

Sekarang hanya tersedia di Wattpad!

Terbit setiap Sabtu/Minggu

Solo To GlasgowWhere stories live. Discover now