Ep. 09 | Tirza | Tiga Saklar Adrian

148 6 1
                                    


(Foto oleh Tim Martin)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Foto oleh Tim Martin)

Tirza. Sabtu, 26 September 2015.

Aku terbangun tepat sebelum matahari terbit. Lengan dan kaki Adrian mengunciku rapat di balik selimut, ia masih tidur. Di negara yang tak mengenal guling ini, untunglah kami bisa bergiliran jadi guling pribadi. Lewat jendela di samping tempat tidur, aku menikmati perubahan warna langit pagi sekitar Calton Hill. Sejak sebelas hari lalu, waktu matahari terbit sudah bergeser setengah jam. Perlahan tapi pasti, Skotlandia bergerak menuju musim dingin. Suhu Edinburgh pagi ini 5°C.

Kemarin, setelah membuang makanan, aku kebingungan melihat Adrian sedang berkemas di flat. Dipikir-pikir, ia pulang terlalu cepat. "Bukannya kamu kuliah sampai sore, Mas?" Aku bertanya dengan hati-hati. Takutnya ia masih marah.

"Dibatalkan. Administrator programku lupa memberi tahu profesor yang seharusnya mengajar sore ini, jadi dia keburu ada kegiatan di tempat lain. Kabar baik."

"Kabar baik?"

"Weekend trip ke Edinburgh, yuk. Pulang besok sore," ajaknya dengan wajah berseri-seri. Kemarahannya tak bersisa. Aku menghela napas lega.

Adrian bergumam di dalam tidurnya, berangsur membelakangi jendela untuk menghindari silau matahari. Aku merapikan selimutnya yang tersingkap. Teringat kemarin ketika sampai ke flat ini, yang kami temukan di Airbnb. Lisa, sang tuan rumah, menyambut kami dengan ramah dan memberi tur singkat tentang flatnya.

Tadinya, kami kira Edinburgh dilafalkan "edin-bergh". Ternyata, seharusnya "edin-brah". Aku diingatkan pada pelajaran kuliahku dulu, bahwa setiap kota di UK punya aksen dan dialeknya masing-masing. Sama seperti bahasa daerah di Indonesia yang beragam. Yah, meskipun aksen Edinburgh masih lebih mudah dipahami ketimbang aksen Glaswegian. Konon, film asal Glasgow ditayangkan di US dengan subtitle, sementara film asal Edinburgh tidak.

Kota tua Edinburgh, yang merupakan situs warisan dunia UNESCO, berukuran kecil sehingga nyaman diputari dengan berjalan kaki. Walaupun cukup bikin pegal karena ada banyak tanjakan dan tangga. Selesai mengunjungi kastil, katedral, taman, museum, dan Royal Mile, kami mampir ngopi ke The Elephant House dan duduk di samping jendela berpemandangan kastil. Dulu, J.K. Rowling menulis naskah pertama novel Harry Potter di sini.

Sesampainya di flat tadi malam, aku merekap pengeluaran sepanjang perjalanan. Aku meringis menyadari biaya perjalanan ini setara dengan anggaran belanja dua minggu.

"Mas, pertama-tama, makasih buat hari ini," aku membuka pembicaraan. Ia tersenyum.

"Liburannya seru. Ngomong-ngomong, hari ini kita habis segini," kataku sambil menunjukkan angka di kalkulator ponsel. Ia menoleh singkat dan mengangguk sebelum kembali main game di ponselnya.

"Ini setara anggaran belanja dua minggu, Mas. Lain kali, gimana kalau liburannya kita rencanakan dari jauh hari? Jadi, pengeluarannya bisa dihemat."

Adrian melempar ponselnya ke atas selimut. Ia terdengar kesal. "Itu urusanku. Kamu nggak usah mikirin. Kita akan baik-baik saja. Oke?" Adrian tampak tak mau membahas urusan uang lagi. Aku tersenyum, walau kurang puas dengan caranya menutup pembicaraan.

Selama setahun ini, kudapati kalau Adrian... sebenarnya... baik. Terkadang, aku masih mengenali Adrian remaja—yang charming dan hangat—di dirinya yang sekarang. Kusebut ini "saklar A". Ada juga "saklar B", yaitu Adrian dewasa yang fokus dan asertif ketika sedang berkutat dengan permasalahan bisnis keluarganya. Yang paling kutakuti adalah kalau ia beralih ke "saklar C", yaitu perangainya yang baru kutemukan di malam pertama kami. Adrian yang ini intimidatif, sewenang-wenang, dan kasar. Sejauh ini, saklar C belum terjadi lagi.

Maka, tantangan terbesarku adalah membaca suasana hatinya. Kalau aku tahu ia sedang menyalakan saklar yang mana, aku bisa menyesuaikan diri. Aku harus pandai membaca sinyal. Kuanggap ini seperti aturan menyetir kendaraan. Saat melewati jalan yang rusak atau nggak rata, sebaiknya kita melaju pelan. Ngebut hanya akan menyakiti diri sendiri, juga berpotensi merusak kendaraan. Saat menemui jalanan banjir, sebaiknya putar arah untuk mencari rute alternatif. Jangan menerobos, nanti repot kalau mesin mati dan kita terjebak di tengah genangan banjir. Triknya adalah menempatkan diri. I learn to suit myself around him according to his needs. Seperti tanaman, yang kalau terhalang batu tidak akan berusaha menembus batu, namun tumbuh dengan memeluknya.

Aku memekik ketika Adrian tiba-tiba menarikku ke sisinya. Kapan ia bangun?

"Pagi, Tirza," sapanya setengahs erak. Setengah ngantuk, setengah lapar. Wajahnya hanya berjarak beberapa senti di atasku. Kami berciuman.

Napas Adrian makin memburu. Badannya mengunciku, praktis aku tak bisa bergerak seperti satwa buruan masuk perangkap. Ini seperti reka adegan malam pertama kami. Kilas balik memoriku datang tanpa diundang. Kepanikan mulai menguasaiku. Napasku tersengal dan leherku basah oleh keringat dingin.

Baru kurasa kalau kedua pergelangan tanganku mati rasa akibat dicengkeram terlalu lama.

"Mas, sakit," rintihku. Adrian masa bodoh, ia sibuk sendiri. Pikiranku gelap. Segelap teater bioskop saat lampu baru padam.

Adrian mundur, sorot matanya penuh amarah. Aku mendudukkan diri, membenahi pakaian, sambil mengisi paru-paru yang miskin oksigen. Rasa legaku tak berlangsung lama. Begitu melihat wajah Adrian, aku langsung menyesali perbuatanku. Apa saja yang baru kulakukan padanya? Meneriakinya? Menamparnya? Memukulnya? Menendangnya?

"Mas, maaf. A-aku tadi panik..."

Ia melepaskan sumpah serapah ke tembok kamar. Lampu samping tempat tidur hancur berantakan di lantai setelah membentur tembok. Nyaris saja lampu itu pecah di kepala Adrian.

"Kamu mau membunuhku, Tirza?"

Sorot mata Adrian saat itu tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Bingung, terluka, marah, kaget, benci.

Detik itu, aku percaya telepati benar-benar ada.

Siapa kamu? Apakah kamu benar perempuan yang aku nikahi?

I don't even know you.

Tiba-tiba aku menggigil walaupun penghangat kamar masih menyala.

Aku buru-buru menggeleng. "Maafin aku. Aku nggak maksud melukai Mas."

Adrian menepisku keras-keras. Lisa mengetuk pintu kamar kami. Meskipun dari balik pintu, nada khawatirnya kentara saat ia bertanya, "Kalian baik-baik saja?"

Pergelangan tanganku masih merah karena cengkeraman Adrian tadi, namun tanganku sudah tak kebas lagi. Adrian sudah menggenggam kenop pintu. Berlutut di lantai, aku memeluk kaki Adrian, memohon ampun. Kalau ia memberi tahu kejadian sebenarnya ke Lisa, dan Lisa lapor polisi, apakah aku akan dipenjara?

***

Hai teman!

Mohon maaf kalau mulai sekarang mungkin aku hanya upload satu episode setiap minggunya. Yang pastinya, I'll try my best untuk selalu upload episode baru.

Apa pendapatmu tentang karakter Adrian? Apa yang akan kamu lakukan kalau ada di posisi Tirza (I sincerely pray you will never be!)? Let me know what you think!

***

Akhir dari Episode 09.

"Solo To Glasgow" adalah buku ke-4 Shinta Yanirma (simak karya lainnya di yanirma.weebly.com/work).

Sekarang hanya tersedia di Wattpad!

Terbit setiap Sabtu/Minggu    

Solo To GlasgowWhere stories live. Discover now