Ep. 11 | Tirza | "I was afraid of losing you."

126 7 0
                                    


(Foto oleh Daniel Garcia)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Foto oleh Daniel Garcia)

Tirza. Kamis, 1 Oktober 2015.

Sesampainya di flat, aku terkejut melihat Adrian duduk di ruang tengah. Seolah menungguku pulang sedari tadi. Perkiraanku, ia baru akan sampai rumah setengah jam lagi.

"I'm home. Kok udah pulang?"

"Dari mana?"

Aku menelan ludah. "Kelvingrove."

"Kenapa hape mati?"

Aku merogoh ponsel di saku jaket. "Ah. Habis baterai."

Adrian mengumpat dan aku terkesiap.

"Mas, aku cuma jalan kaki ke taman, lho. Beneran. Nggak ke mana-mana lagi. Kamu nggak perlu berkata kasar kayak gitu."

Adrian berdiri dan mendekat. "Dari mana aku tahu kamu bukan baru flirting around?"

Punggung dan telapak tanganku menempel rapat ke dinding yang terasa dingin. Apa ini saklar B?

Ia menarik kerah jaketku. Kakinya menyandungku. Buk! Aku terpelanting ke lantai. Rasa sakit menjalar di sekujur badanku yang baru terbentur kencang. Barangkali seharusnya aku berteriak. Atau mengumpat balik. Atau menangis. Tapi tak ada yang kulakukan karena aku sibuk mencerna apa yang terjadi dalam sekejap mata.

Benarkah Adrian membantingku? Apakah dia sengaja? Mengapa? Atau tadi itu hanya imajinasiku saja? Apa aku berpikir berlebihan? Yang jelas, ini pasti saklar C.

Salah satu nasihat yang sering kuterima sebelum menikah yaitu pernikahan akan membawa banyak tantangan yang belum pernah kualami sebelumnya. Jadi aku harus siap.

Tapi aku tidak menyiapkan diri untuk diperlakukan begini. Adrian duduk di atasku. Dengan kasar ia menyingkap leher bajuku. Lalu ia menggeledah setiap saku di jaket, sweater, dan celana jeans yang kukenakan. Ia bertekad menemukan petunjuk sekecil apa pun.

Dengan sorot mata penuh kemenangan bercampur geram, ia mengacungkan kartu nama berwarna ungu di depan wajahku. "Jadi ini maksud kamu jalan-jalan di taman, hah?"

"Dengarkan aku dulu, Mas—uhuk," kalimatku terpotong saat ia mencekikku.

"Aku sayang kamu, Tirza," Adrian berkata sambil memandangku dengan tenang, tanpa mengendorkan tekanan di leherku. Aku menggelepar seperti ikan yang keluar dari air, tanganku berusaha melepaskan cengkeramannya. Sia-sia.

Lalu, kilas balik itu datang lagi. Lengan yang kekar membekapku kuat di ruangan gelap. Keringat dingin menguasaiku. Ditambah defisiensi pasokan oksigen, aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan.

"Kamu cantik, Tirza. Cantik sekali."

Penglihatanku mengabur.

"Aku ingin kamu jadi milikku. Milikku saja."

Untuk pertama kali seumur hidup, aku benar-benar percaya kalau aku akan mati sebentar lagi.

"Selamanya. Ya?"

Tuhan, apa salahku sampai kenangan terakhirku di dunia harus seperti ini?

Adrian melepaskan cengkeramannya. Aku terbatuk sambil memburu napas. Tenggorokanku sakit bukan main. Ia pergi ke dapur. Aku terlonjak dari lantai saat ia kembali. Apapun yang ia bawa, aku takut benda itu akan dibenturkan ke kepalaku.

Ternyata, Adrian hanya mengambil segelas air. Aku menghela napas dan merutuki prasangkaku yang tak masuk akal. Ia menyandarkan kepalaku ke bahunya. "Minumlah, kamu pasti kaget."

Aku meneguknya perlahan. Kukerahkan sisa tenaga, dan keberanian, untuk bertanya. "Kenapa harus main tangan, Mas? Kamu kan bisa bertanya baik-baik."

"Maaf kalau aku terkadang kelewatan. I was afraid of losing you, Tirza. Itu saja yang kamu perlu ingat," katanya sambil mengusap pipiku. Adrian seolah menyesal melihatku ketakutan. Dia memelukku dan memapahku ke tempat tidur.

Aneh. Aku tak bisa mengerti jalan pikirannya.

Apa yang baru kualami ini nyata?

Mengapa perbedaan sikapnya seperti langit dan bumi?

Separuh diriku ingin berpura-pura kejadian ini tidak pernah terjadi dan move on. Separuh diriku yang lain berkata ini baru permulaan. Nggak ada yang menjamin ini nggak akan terulang lagi. Artikel psikologi yang kemarin kubaca bilang, ketika kekerasan berulang, biasanya tingkatannya akan lebih parah.

"Kamu ingat kejadian di Edinburgh? Kalau aku laporkan itu ke polisi, sekarang kamu pasti sudah dipenjara, Tirza. Kamu mau itu terjadi?"

Aku menggeleng. Aku tak bisa membayangkan Bapak dan Ibu melihat namaku muncul di surat kabar, tuduhan upaya pembunuhan pula.

"Jadi, tolonglah, Tirza. Nurut sama aku. Untuk kebaikan semua orang. Ya?"

Aku mengangguk. Lalu tersedak. Lalu mulai terisak.

"Sshh... sshh," hibur Adrian sambil membelai rambutku.

***

Aku menggerakkan bahu sambil meringis. Bekas memar di leher dan punggung samar terlihat lewat pantulan cermin kamar mandi.

"Menjaga nama baik keluarga akan membuatmu bahagia," nasihat Ibu suatu saat. Namun, bahagiakah aku saat menyensor cerita buruk dari yang baik untuk disampaikan kepada Bapak dan Ibu?

Tapi aku yakin Bapak dan Ibu akan membenci Adrian kalau mereka sampai tahu cerita utuhnya. Tentu saja mereka akan membelaku. Aku tak mau keluargaku sampai bersikap dingin kepada Adrian saat kami bertamu. Adrian akan merasa dikhianati. Bagaimana rasanya tidur seranjang dengan orang yang membicarakan keburukanmu di belakang? Barangkali ini maksudnya, 'istri adalah pakaian bagi suami'. Walau pakaianku rombeng, aku wajib berusaha menutupi noda dan tambalannya dari pandangan orang.

Bahagiakah aku saat menyembunyikan memar dan luka di balik syal, kaus lengan panjang, dan sapuan make-up?

Aku memotret bahu dan punggungku dengan kamera ponsel. Muncul ide untuk mengunggahnya ke Instagram. Dunia kecil kami bisa gempar. Semua akan menggunjingkan Keluarga Dinoto. 

Atau, bisa-bisa aku yang dituduh menyebar hoax dalam rangka memeras kekayaan mereka. 

Atau malah tidak akan terjadi apa-apa karena tak ada yang peduli. 

***

Akhir dari Episode 11.

"Solo To Glasgow" adalah buku ke-4 Shinta Yanirma (simak karya lainnya di yanirma.weebly.com/work).

Sekarang hanya tersedia di Wattpad!

Terbit setiap Sabtu/Minggu   

Solo To GlasgowWhere stories live. Discover now