Ep. 06 | Tirza | Berbelanja Di Supermarket UK

143 8 2
                                    


(Foto oleh Brandon Wong)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Foto oleh Brandon Wong)

Tirza. Jumat, 25 September 2015.

Aku dan Adrian sama-sama keluar flat jam sembilan pagi. Ia belok kanan menuju kampusnya, sementara aku belok kiri menuju Lidl. Catatan mentalku penuh dengan belanjaan yang harus dibeli: daging, buah, telur, susu, roti.

Di halaman, aku merapatkan ritsleting jaketnya.

"Suhu 8°C gini kamu pakai jaket setipis ini?" protesku.

"Kata ramalan cuaca, siang nanti bisa sampai 20°C. Kamu bawa kunci flat kan? Mumpung aku masih di sini, jangan sampai kamu terkunci di luar."

Flat kami memang berkunci otomatis. Raj, sang pemilik flat keturunan India, mengaku tidak punya kunci cadangan. Kalau kami berdua kebetulan kompak lupa, satu-satunya cara adalah panggil tukang kunci yang ongkosnya sekitar sejuta rupiah per lubang kunci. Alamak.

Kunciku aman di saku mantel. Adrian menciumku, lalu melambaikan tangan sebelum pergi. Aku masih tersenyum saat sampai di Lidl, meskipun staf di cabang ini pelit senyum. Mungkin karena harganya sangat ekonomis. Tanpa beramah-tamah pun pelanggan bertahan. Apalagi kondisi perekonomian UK sedang tak menentu. Lewat grup WhatsApp para istri pendamping suami yang sekolah lagi, aku tahu mana supermarket murah dan mahal. Kelompok murah yaitu Lidl, Iceland, Morrisons. Kelompok menengah yaitu Tesco dan Co-op. Kelompok mahal yaitu Sainsbury's, Marks & Spencer Food, dan Waitrose.

Kebetulan, Lidl dan Iceland terdekat hanya berjarak lima menit jalan kaki dari flat kami. Tentunya, banyak produk supermarket mahal yang tidak tersedia di supermarket murah. Ada harga, ada rupa dan rasa. Walaupun harga pangan di sini tidak semahal dugaan. Memang, sih, harga alpukat yang kalau di Solo dapat sekilo, di sini hanya dapat sebiji. Tapi harga anggur dan pisang Cavendish lebih murah karena ditanam lokal dan pasokannya berlimpah sepanjang tahun.

Yang aku tidak habis pikir saking murahnya adalah harga telur dan susu segar. Sudah lebih murah, jauh lebih murah lagi kalau membandingkan upah minimum per jam di sini dengan Jawa Tengah. Bekerja sejam dengan upah minimum di sini bisa dapat 7 kg telur, sementara di Jawa Tengah hanya dapat ¾ kg. Atau dapat 31 liter susu segar di sini, sementara di Jawa Tengah hanya seliter. Kalau kuhitung-hitung, bekerja setengah hari dengan upah minimum saja di sini cukup untuk menyewa fully-furnished flat dan makan kenyang. Jadi, upah minimum di sini yang terlalu tinggi atau di Indonesia yang tidak layak? Atau barangkali, harga bahan kebutuhan pokok yang terlalu mahal di Indonesia? Entahlah.

Penjaga kasir menatapku lama saat menerima uang kertas £50 keluaran Bank of England. Aku menebak ada tiga masalah di sini. Satu, poundsterling yang lazim beredar di Skotlandiaadalah keluaran Bank of Scotland, Royal Bank of Scotland, atau Clydesdale Bank. Dua, jarang sekali orang yang berbelanja menggunakan pecahan sebesar £50–untuk alasan keamanan, mereka cenderung pakai kartu debit. Tiga, mungkin seperti supir taksi dulu, aku dikira masih sembilan belas tahun. Kalau mau sedikit berburuk sangka, aku bisa menambahkan alasan keempat. Karena aku terlihat seperti imigran. Walaupun stigma imigran dinilai setingkat lebih elit dibanding refugee; pengungsi korban perang yang menuai pro dan kontra yang ramai jadi headline di media massa seantero Eropa.

Setelah uang kertas tadi terbukti asli dan diverifikasi manajer toko, akhinya aku diberi kembalian. Aku tak ambil pusing. Yang penting harga di sana murah serta roti krim kayu manis dan roti pesto keju kambing favorit kami berdua selalu tersedia.

Tiba-tiba aku kangen rumah. Sekarang jam dua belas siang British Summer Time (BST), alias jam enam sore WIB. Aku menyambar laptop untuk mengajak Bapak dan Ibu video call. Sudah kuajari mereka sebelum berangkat. Selanjutnya, giliran menelepon Tisha. Ia menggosipkan teman-temannya yang juga kukenal. Ada yang baru bergabung, resign juga, melahirkan, menikah, dan bercerai karena ketahuan selingkuh. Cerita kehidupan biasa.

"Di sana lagi musim apa, Mbak?"

"Apa, ya? Antara musim panas sama gugur kalau nggak salah."

"Foto-foto kalian bagus banget, Mbak. Tempatnya romantis kayak di film-film British," komentar Tisha antusias. Rasanya aku belum upload foto seperti yang dimaksud. Pasti dia lihat dari akun Instagram Adrian. Feed dan caption setiap fotonya, yang terlihat sempurna, berkecenderungan membuat orang lain berpikir bahwa ada yang kurang di hidup mereka.

***

P.S.

Untuk yang bertanya, mohon maaf Episode 06 ini terlambat diunggah karena aku baru pulih dari operasi minor. 

BTW, kamu yang sudah baca Episode 01-06 mungkin mulai menebak kalau inti cerita #SoloToGlasgow ini tak sesederhana tentang cinta pertama, ibu yang overprotective, pacaran halal, atau pengalaman tinggal di UK (khusus yang terakhir ini diinspirasi pengalaman pribadiku sewaktu jadi penerima Beasiswa LPDP untuk kuliah S2 di Glasgow selama setahun).

Well, tak perlu aku yang bicara. Kamu bisa ambil kesimpulan sendiri dari kisah Tirza yang akan diurai semakin dalam di episode-episode berikutnya. :)

***

Akhir dari Episode 06.

"Solo To Glasgow" adalah buku ke-4 Shinta Yanirma.

Sekarang hanya tersedia di Wattpad!

(Kalau tak ada aral melintang,) terbit setiap Sabtu dan Minggu.

Solo To GlasgowWhere stories live. Discover now