Ep. 03 | Tirza | Laba-laba di Langit-langit

190 6 0
                                    

(Gambar oleh Hermes Rivera)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Gambar oleh Hermes Rivera)

Tirza. Minggu, 15 Juni 2014.

"Pinggangnya kurang pas sedikit," komentar Ibu seraya mencubit seinci kain di bagian pinggang kebayaku. Khas Ibu, selalu menemukan kekurangan di segala aspek di hidupku. Sempat-sempatnya ia memikirkan komentar itu saat menjemputku keluar kamar untuk menemui Keluarga Dinoto di acara pertunanganku dan Adrian.

Aku duduk diapit Bapak dan Ibu. Adrian juga diapit orang tuanya dan duduk di seberang meja ruang tengah kami. Ia tersenyum melihatku. Aku pasti merah merona; untungnya, pipiku sudah merah dari tadi karena blush on. Ada secuil rasa malu karena menerima Keluarga Dinoto di rumah kami yang terlalu sempit, terlalu polos, terlalu... berkekurangan.

Aneh melihat kami tiba-tiba sejajar dengan duduk berhadapan begini. Aku masih ingat bagaimana aku mengaguminya dalam hati setiap melihatnya di kantor. Maria, sesama staf administrasi yang duduk di sebelahku, akan menyikutku, "Tuh, Mas Adri gantengmu lewat."

Pakde Adrian angkat bicara. "Wah, ini, cah ayune sudah keluar." Ia terus berkelakar untuk mencairkan suasana, semua orang tertawa. Juga terdengar riuh-rendah obrolan bercampur musik dari tenda depan rumah, tempat menunggu kerabat Adrian dan kerabat kami yang tak muat dijamu di dalam rumah. Bapak sudah minta izin kepada ketua RT dan hansip untuk menutup jalan malam ini.

Ada jaring laba-laba kecil di salah satu sudut langit-langit rumah yang entah bagaimana bisa luput tersikat walaupun kerja bakti kami kemarin berlangsung seharian. Aku menghela napas. Semoga tak ada yang menyadarinya.

Tisha dan aku berpandangan. Ia melempar senyum yang menenangkan, mungkin ia sadar aku gelisah. Mengapa kami sungguh bertolak belakang? Ia tak pernah merasa kekurangan apapun sehingga selalu tenang di segala situasi. Misalnya, ketika aku tiba-tiba mengompol lagi saat hampir naik kelas 3 SD. (Jangankan orang lain, aku juga malu dan jijik karena kembali mengompol saat usiaku tak kecil lagi.) Lebih parahnya lagi, itu pertama kali terjadi saat kami sedang di rumah Oma dan Opa. Ibu sedang mengobrol dengan orang tuanya di ruang tengah. Kami menghabiskan waktu bermain-main dengan mesin jahit tua Oma, lalu tertidur di kamar tamu yang dulunya adalah kamar Ibu. Tisha di kasur atas, aku di kasur bawah. Kami terlelap hanya sebentar, tak sampai setengah jam. Lalu, aku bermimpi buruk. Saat itu, mimpi ini sudah pernah kualami beberapa kali---dan terus berulang bahkan hingga hari ini. Aku ada di suatu ruangan. Lalu, seseorang membekapku kencang sekali. Namun, wajahnya tak terlihat karena ruangan itu gelap gulita. Aku, yang tak bisa bernapas, memberontak sampai aku terbangun. Sambil ngos-ngosan, kusadari kalau aku terbaring di tengah genangan ompolku sendiri. Aku panik dan menangis.

Tisha, yang ikut terbangun, menatap seprai yang basah kemudian memegang wajahku, "Sshh, jangan nangis. Kalau Ibu marah, nanti aku lindungi Mbak." Meskipun, pada akhirnya, Ibu tidak memarahiku sama sekali. Sebenarnya, Ibu hampir naik pitam. Tapi, setelah mendengarkan kisah mimpi burukku, amarahnya sirna tanpa bekas. Dipikir-pikir, tak sekalipun Ibu pernah memarahiku meskipun peristiwa mengompol ini terus terjadi sampai aku lulus SD.

Ibu mencubit pinggangku bagian belakang. "Ah," seruku. Seluruh penghuni ruangan menatapku. Mereka menunggu jawabanku akan sesuatu. Aku tak mendengar pertanyaannya tapi paling itu tipe pertanyaan yang jawabannya antara "ya" dan "tidak". Dan, di saat-saat seperti ini, anak muda biasanya hanya perlu mengiyakan.

"I-iya," jawabku sambil mengangguk pelan. Seisi ruangan terbahak, termasuk Pak Dinoto yang jarang tersenyum.

Hanya Ibu yang sadar, aku tadi zoning out. "Fokus, Mbak," bisiknya.

Bertekad tak membuat kesalahan lagi, aku duduk lebih tegak dari sebelumnya. Kelak, dari Tisha, aku tahu pertanyaan yang tadi asal kujawab yaitu, "Inginnya sih nggak perlu ribet pakai acara lamaran begini tapi langsung halal saja, ya?"

***

Akhir dari Episode 03.

"Solo To Glasgow" adalah buku ke-4 Shinta Yanirma.

Sekarang hanya tersedia di Wattpad!

Terbit setiap Sabtu dan Minggu

Solo To GlasgowWhere stories live. Discover now