Ep. 08 | Tirza | Monster

137 6 0
                                    


(Foto oleh David Cohen)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Foto oleh David Cohen)

Tirza. Senin, 14 Juli 2014.

"Tirza, Nduk, ini ada jajan buat kamu."

Tanpa pikir panjang, aku menaruh buku yang kubaca dan berlari menuju sumber suara. Sekeresek cokelat itu berpindah tangan. Kalau Ibu tahu, aku bisa kena masalah. Tapi aku percaya rahasia ini aman di antara kami berdua. Seperti yang sudah-sudah.

Ternyata, cokelat itu adalah umpan. Aku terperangkap sendirian dengan binatang buas. Keempat kakinya menjebakku di tanah. Yang kulihat hanya seringaiannya dan taring-taringnya, yang semakin lama semakin dekat. Lalu, gelap. Ia menerkamku dan kini aku berada di rongga mulutnya. Harusnya aku sudah mati karena tubuhku tercerai-berai. Tapi, Tuhan lupa mematikan saklar ingatanku. Aku menangis. Aku berteriak. Aku berontak. Tapi tak seorang pun mendengar. Atau, sebenarnya mereka mendengar tapi memilih untuk tak memercayai apa yang mereka dengar. "Anak kecil tahu apa," "Anak kecil berkhayal saja," "Anak kecil sering mengada-ada," begitulah yang mereka biasa tuduhkan.

Aku terbangun dari tidur soreku. Napas memburu, keringat membasahi baju tidur, padahal suhu udara jauh dari panas. Mimpi buruk macam apa itu? Aneh sekali.

Aku mengernyit melihat kamar yang kutempati. Ini terlalu mewah. Lalu, aku ingat aku di mana. Sang pengantin baru yang ditinggal suami pada malam pertamanya di suatu hotel mewah di Ubud.

Pembalut wanita yang kukenakan terasa penuh. Aku beranjak ke kamar mandi untuk menggantinya. Oh ya, aku baru datang bulan tadi pagi. Maju dua minggu dari siklus normal. Barangkali karena aku banyak pikiran menjelang pernikahan. Buatku, ini mukjizat. Buat Adrian, ini musibah. Ah, apa pedulinya. Waktu pergi saja ia tak mau bilang ke mana.

Setidaknya aku bisa menunda "itu" seminggu lagi. Bibir vaginaku masih lecet, dan tangan kiri Adrian harus diperban karena gigitanku semalam. Aku merasa bersalah telah melukainya, dan semakin begitu karena ia pergi tanpa banyak bicara. Ingatanku kembali ke tadi malam. Setelah sikat gigi, aku berkaca sekali lagi di kamar mandi berinterior dominan marmer itu. Setelan piyama dengan celana panjang, semua kancing terpasang. Adrian masih menatap layar ponsel dengan kening berkerut. Berkoordinasi untuk jadwal penerimaan stok gudang skala besar besok, katanya. Ia terlihat lelah. Adrian sudah tampak kurang tidur sejak sebelum acara pernikahan. Selesai acara, ia masih harus beramah-tamah dengan kerabat dan partner bisnis yang datang dari jauh. Usai makan malam di Denpasar, kami baru sampai di Ubud larut malam. Aku menyelinap tanpa suara ke balik selimut. Namun, ia malah menaruh ponselnya lalu menarikku ke arahnya.

Aku mengendalikan rasa panikku. "Mas nggak capek?" tanyaku.

"Nggak." Ia membenamkan wajahnya ke leherku, menciumi tengkukku. Tangannya menyusup ke balik piyamaku, meremas dadaku. Telapak tanganku mendorong bahunya sekuat tenaga. Sia-sia. Aku mulai terisak.

"Sshh," bisiknya. Dengan satu sentakan, ia membuka celanaku. Lalu, ia membuka celananya. Aku berguling ke samping, tanganku menggapai tepian tempat tidur. Tapi, mudah untuk Adrian menahanku dan mengembalikan kami ke posisi semula.

"Jangan malam ini, Mas. Kumohon," pintaku. Aku belum siap kalau caranya setergesa-gesa ini. Ia tak menghiraukanku. Ia melebarkan kedua kakiku dengan paksa dan menindihku di tengah. Dengan satu dorongan, rasanya sekujur badanku terbelah jadi dua di sumbu vertikal. Mungkin aku berteriak sekencang-kencangnya. Mungkin aku menyumpah-serapah. Mungkin, sebab aku tak cukup konsentrasi untuk mendengarkan suaraku sendiri.

Adrian membekap mulutku dengan tangannya. "Kalau kamu berontak, nanti malah semakin sakit," katanya dengan datar. Ada sesuatu di nada bicaranya yang membuatku merinding. Aku teringat akan tangan yang membekapku di mimpi-mimpi burukku. Napasku mulai sesak. Aku menggigit tangannya kuat-kuat. Adrian berteriak kesakitan. Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Kulit telapak tangannya terkoyak, bentuknya persis dengan susunan gigiku. Darah menetes ke seprai.

Ia menyumpah serapah, mengemasi barang-barangnya, lalu angkat kaki entah ke mana. Setelah itu, yang ada hanya penyesalan. Aku terlalu malu dan merasa bersalah untuk menghubunginya. Tak sanggup lagi mengingatnya, aku beranjak menuju jendela. Hanya bukit-bukit yang ditumbuhi pepohonan yang terlihat dari dinding kaca. Ubud begitu sepi, begitu damai. Aku masuk ke dalam bathtub di semi terbuka yang belum diisi air. Bersandar dengan mata terpejam, memakai piyama. Ini hotel terbagus yang pernah kutempati seumur hidup. Tentu saja. Terakhir kali aku menginap di hotel yaitu di hotel bintang tiga, sekamar berdua. Itu pun dalam rangka lomba di Surabaya yang dibayari kantor, yang artinya dibayari uang Keluarga Dinoto juga.

Aku tak mau jadi Putri. Berani taruhan, ia pasti sempat menyesal setelah bercerai. Kalau Adrian menceraikanku, aku tak akan bisa kembali bekerja di dealer lagi. Aku tak boleh melepaskan Adrian. Ketakutan ini cuma ada di dalam otakku saja. Aku akan melawannya. Aku tak akan mengecewakan Adrian lagi.


***

Akhir dari Episode 08.

"Solo To Glasgow" adalah buku ke-4 Shinta Yanirma (simak karya lainnya di yanirma.weebly.com/my-work).

Sekarang hanya tersedia di Wattpad!

Terbit setiap Sabtu dan Minggu

Solo To GlasgowWhere stories live. Discover now