Ep. 04 | Tirza | Glasgow, Kami Datang.

209 6 0
                                    


(Gambar oleh Flyfishinghut)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Gambar oleh Flyfishinghut)

Tirza. Selasa, 15 September 2015.

Istri. Predikat yang dulu terasa di luar jangkauan tapi sekarang menjadi bagian identitasku. Seperti saat Adrian menggandengku di acara silaturahmi pelajar Indonesia minggu lalu.

"Kenalkan, Tirza, istri gue," katanya setiap berkenalan kepada sesama perantau setanah air yang kami temui sore itu. Tak sepertiku yang selalu canggung ber-gue-elu, Adrian mengucapkannya dengan sangat natural, tanpa sedikit pun terdengar medhok.

"Pengantin baru, ya?" tebak bapak-bapak di sana.

"Sudah setahun, Pak," jawabku.

"Ya benar berarti, pengantin baru." Aku tersipu.

"Senangnya, setahun bulan madu di luar negeri," komentar seorang istri dan ibu tiga anak yang sedang mendampingi suaminya kuliah doktoral.

"Enak lu, Bro, jauh dari rumah tapi tetap ada yang ngurus," celetuk seorang mahasiswa yang seumuran Adrian tapi belum berkeluarga. Setitik iri terbersit di raut wajahnya.

Istri. Istri. Istri. Kata itu kurapalkan berulang kali sampai kehilangan makna, sampai kelu.

Aku tersenyum melihat peralatan makan kotor bekas sarapan di meja. Semuanya berpasangan, terutama mug bertuliskan "Mr." dan "Mrs." yang kubeli di IKEA Glasgow kemarin. Setelah meja makan dan dapur bersih, kini giliran kamar tidur. Baju tidur Adrian semalam tergeletak di atas kasur. Aku menghirup kausnya sambil memejamkan mata. Bau Adrian di sana lagi-lagi membuatku rindu. Walaupun mungkin itu bukan bau Adrian. Lebih tepatnya, aroma sabun dan deodorannya. Kaus itu sekarang berputar di tabung mesin cuci bersama baju kotor lainnya yang berwarna senada. Mesin cuci di sini lebih canggih dari yang ada di rumahku dulu. Ada setelan untuk kain berwarna dan putih; suhu air bisa disetel di 30°C, 40°C, 60°C, sampai 90°C. Hebatnya lagi, ia ditaruh di dapur, bukan di dekat tempat basah seperti biasa terlihat di Indonesia. Selang pembuangannya mungkin langsung terhubung ke pipa air kotor, entahlah. Dipikir-pikir, rumah di sini memang tidak kenal 'tempat basah'. Kamar mandi saja lantainya kering. Yang boleh basah hanya wastafel cuci piring, wastafel kamar mandi dan bathtub.

Sambil duduk melamun di lantai dapur, aku tersadar masih banyak tugas bersih-bersih menantiku. Sejak pindah ke sini kemarin lusa, flat ini sudah di-vacuum namun belum sempat dipel. Sebagian perabot masih berdebu. Ada dua koper yang isinya belum dibongkar. Oh ya, aku belum beli kain lap baru. Kulkas juga hampir kosong. Mana aku belum memilih menu makan malam nanti. Aku menghela napas, ternyata pekerjaan rumah masih banyak. Sisi positifnya, waktu akan berlalu lebih cepat sampai jam enam sore nanti. Sampai Adrian pulang.

Di awal pernikahan, Adrian memboyongku untuk tinggal bersama di rumah orang tuanya. Semua tugas rumah tangga diambil alih oleh pembantu dan pesuruh. Jadi, baru di sini aku merasakan kehidupan pernikahan yang sesungguhnya, menjadi nyonya rumah tangga. Yang sejauh ini sungguh menyenangkan. Memang butuh waktu penyesuaian setelah tadinya terbiasa disuapi. Tapi, di sini, hanya ada kami berdua, suami dan istri yang jauh dari keluarga besar. Untukku, inilah kebebasan.

Mesin cuci berhenti berputar. Aku menjemur pakaian setengah kering di ruang tamu. Tiba-tiba aku teringat Bapak dan kekhawatirannya.

"Adrian memang sah jadi suami kamu. Tapi bagaimanapun juga, kalian belum lama dekatnya. Terus sekarang mau tinggal di luar negeri, jauh sekali dari Ibu dan Bapak. Bagaimana kalau ada apa-apa?"

"Tenanglah, Pak. Kan kita sudah kenal dengan Keluarga Dinoto dari Tirza masih kecil. Bukan waktu yang sebentar, kan?"

Wajah beliau masih menyimpan keraguan.

"Nggak akan ada apa-apa, Pak," aku meyakinkannya. Bapak menggenggam tanganku erat-erat.

Dan memang nggak terjadi apa-apa. Sebelum menempati flat ini per kemarin lusa, kami bermalam di Hotel Sandyword di city centre. O ya, setiap kota di UK memang punya city centre yang biasanya merupakan pusat pertokoan dan hiburan. Bedanya, penampilan hotel bintang tiga di sini lumayan mengagetkan. Di Solo, aku terbiasa melihat hotel bintang tiga dengan teras drop-off tamu, lobi berkapasitas minimal lima puluh orang, serta lapangan atau basemen parkir. Di sini, hotel berbintang yang letaknya di pusat kota sangat hemat lahan. Pinggir toko, restoran dan hotel di sepanjang city centre itu saling menempel menjadi satu bangunan besar yang hanya putus sebelum persimpangan jalan. Etalase kaca Sandyword bisa disentuh, secara harfiah, oleh pejalan kaki yang lewat depannya. Resepsionis dan trotoar hanya dipisahkan empat anak tangga dan satu pintu setengah kaca yang pas untuk dua orang. Tanpa plang 'hotel' di atas etalase, aku akan mengira itu adalah toko furnitur. Kamarnya bersih, berjendela dengan pemandangan jalan depan hotel, serta berpenghangat, walaupun tetap mungil. Kami sarapan pagi di hotel sebelum berkeliling mencari flat untuk disewa selama setahun.

Mungkin peristiwa paling berkesan adalah saat aku dan Adrian naik taksi dari bandara ke Sandyword. Saat mendarat dari pesawat, kami sempat panik karena belum punya kartu SIM, dan belum survei taksi. Untunglah ada sukarelawan di pos penerimaan mahasiswa internasional di terminal kedatangan yang membantu memesankan taksi. Taksi berwarna putih itu datang setelah kami menunggu sepuluh menit di basemen parkir. Supir taksi itu tinggi besar, berkaus putih dan bercelana kargo pendek. Awalnya, ia tersenyum kikuk, lalu memindahkan koper-koper kami ke bagasi tanpa ba-bi-bu. Setelah setengah jalan, ia berubah jadi ramah sekali.

"Kalian datang saat cuaca sedang hangat-hangatnya," katanya kepada kami yang berjaket rapat. Langit memang biru cerah tak berawan, suhu musim panas saat itu konon 20°C, namun angin Skotlandia tetap tak bersahabat dengan tubuh tropis kami.

Adrian tampak tak suka tetapi aku ingin tertawa saat sang supir mengira kami kakak-beradik. Dia bahkan mengira usiaku baru sembilan belas tahun.

"Betul sekali, aku memang baru sembilan belas tahun," aku nyengir saat Adrian mendelik, "ditambah lima. Dan kami baru menikah."

Lewat spion tengah, aku bisa melihat ia jelas terkejut. "Wow, selamat," ucapnya.  

***


Akhir dari Episode 04.

"Solo To Glasgow" adalah buku ke-4 Shinta Yanirma.

Sekarang hanya tersedia di Wattpad!

Terbit setiap Sabtu dan Minggu    


Solo To GlasgowWhere stories live. Discover now