Ep. 10 | Tirza | A Walk in The Park

126 6 0
                                    


(Foto oleh Jessica Furtney)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Foto oleh Jessica Furtney)

Tirza. Kamis, 1 Oktober 2015.

Anak zaman now mungkin nggak tahu senangnya mengoleksi kertas binder. Saat aku kelas 6 SD dulu, semua siswi sedang keranjingan mengoleksi kertas binder beraneka warna dan desain. Yang terpikir olehku, itu adalah kesempatan mendapatkan uang tambahan. Aku menyisihkan uang saku harianku sampai cukup untuk modal awal.

Hari Minggu, aku dibonceng Bapak ke pusat grosir alat tulis untuk kulakan. Hari Rabu besoknya, seluruh daganganku ludes terjual. Pola yang mirip terus kujalankan untuk produk yang ngetren sampai aku kuliah. Ikat rambut, jam tangan, parfum, pakaian, kerudung, rasanya semua pernah kucoba. Walaupun aku berhenti berdagang setelah bekerja, aku selalu mengatur gajiku dengan baik. Punya kendali atas keuanganku sendiri membuatku merasa optimis akan masa depan.

Sedari kecil, aku tak dibiasakan diberi sesuatu tanpa disuruh berusaha terlebih dahulu. Walaupun dulu kubenci, didikan Ibu terbawa hingga kini. Aku tak mau jadi benalu. Rasanya ada yang salah kalau aku hanya ongkang-ongkang kaki dan disuapi. Makanya, aku sebenarnya tak setuju saat keluarga Adrian menyatakan akan menanggung penuh biaya resepsi pernikahan kami yang megah. Orang tuaku tidak percaya saat aku menyampaikan pesan Adrian. Di keluarga besar Jawa kami, belum pernah ada pernikahan di mana bukan pihak keluarga perempuan yang berperan besar.

Namun, orangtuaku menerima keputusan itu tanpa protes. Baru kemudian aku paham bahwa, Bapak dan Ibu sebenarnya bersyukur. Kalau persiapan resepsi diserahkan kepada keluargaku, tempat acara yang terjangkau adalah di jalan depan rumah. Mentok-mentoknya di aula kantor Bapak dengan memanfaatkan fasilitas diskon untuk pegawai. Lebih dari itu, Bapak harus menggadaikan mobil ditambah utang ke keluarga besar. Sementara itu, standar pesta resepsi yang ditetapkan Bu Titiek—maksudku, Bunda—jauh di luar jangkauan orang tuaku.

Sudah cukup melamunnya, mari kita belanja, Tirza. Diam-diam, aku tetap belanja sayuran dan buah ke Lidl. Walaupun Adrian melarangku belanja ke sana lagi. Toh, Adrian tak akan tahu bedanya, asal aku langsung membuang kemasannya.

Untuk pertama kalinya, staf di sana menyapaku lebih dulu. "Orang Indonesia?" tanya kasir perempuan di depanku. Aku membalas senyumnya. Dari nametag-nya, aku tahu namanya Amanda. What a nice surprise. Tentunya ia tak bisa mengobrol lama. Supermarket punya aturan waktu maksimal untuk melayani pelanggan di kasir.

Beres memasak, aku mati gaya di rumah. Lalu tersadar ada banyak aktivitas yang sebenarnya bisa kulakukan. Misalnya, berjalan kaki ke Kelvingrove, taman terbesar di kota, yang hanya lima menit jauhnya. Aku mengenakan jaket dan keluar flat lagi. Ternyata benar, rekreasi tak perlu jauh. Duduk di bangku taman sambil menonton dedaunan oranye berguguran begini saja cukup untuk menyegarkan pikiran. Aku memerhatikan orang-orang yang lalu-lalang pada sore yang cerah ini. Perempuan jogging dengan anjingnya. Segerombolan siswi SMA melintas sepulang sekolah. Pria mirip Tom Hiddleston mendorong stroller berisi duplikatnya versi mini. Belasan anak kecil bersorak sambil melaju di otopet dan sepatu roda. Aku mengelus perut, berpikir kapan giliranku menjadi seorang ibu akan tiba.

Aku bangkit dan menelusuri taman lebih lanjut. Pameran gambar sederhana di dekat air mancur menarik perhatianku. Sekelompok sukarelawan di sana mengobrol dengan sejumlah pengunjung yang tertarik untuk tahu lebih lanjut. Uniknya, sebagian sukarelawan tampak seperti undergrads, sementara sisanya adalah kelompok lanjut usia. Ada juga yang sepertinya berusia di tengah-tengah, seperti pria tinggi berambut cokelat yang membelakangiku di ujung area sana.

Seorang sukarelawan laki-laki berambut putih mendekat.

"Y'awright?" sapanya ramah, namun dengan aksen Scottish yang kental.

Aku mengedip. Butuh waktu untuk memahami kalau yang ditanyakannya tadi yaitu, 'You all right?' Ia terkekeh geli, lalu mengenalkan diri. Nama Robert MacGregor tertera di kartu nama yang kuterima. "Panggil Bob saja."

Aku mengeja nama yayasan di kartu nama berwarna ungu itu. "FTWC?" tanyaku.

"For the women and children," balasnya.

FTWC bergerak di bidang prevensi dan pemulihan perempuan dan anak-anak dari kekerasan, katanya. Salah satu terapinya yaitu melalui seni visual. Ia membawaku ke salah satu gambar. Setiap karya disertai poster penjelasan, namun Bob menjelaskan ulang semuanya. Pelukisnya adalah anak usia sepuluh tahun yang jadi korban KDRT. Gambar itu memuat satu tangan kecil di dalam ruangan gelap gulita yang penuh kata-kata makian. Satu-satunya cahaya berasal dari pintu yang terbuka jauh di ujung ruangan. Ada matahari yang bersinar terang di balik pintu. Air mataku jatuh. Aku ingin sekali memeluk anak yang melukis gambar ini. Meyakinkannya kalau apa pun yang pernah terjadi, itu bukan salahnya. Melihatku menyeka ujung mata, Bob menghiburku. Bercerita kalau anak ini sudah pulih dari traumanya dan keadaannya sekarang jauh lebih baik.

Seorang perempuan usia enam puluhan menghampiri Bob, berkata tiba waktunya untuk tutup. Bob mengenalkannya padaku. "Ini Sue, istriku."

"Maafkan kalau Bob terlalu banyak bicara," seloroh Sue.

Aku tertawa dan menggeleng. "Dia jago membuat segalanya terdengar jauh lebih menarik."

"I know, right? Makanya kami bisa langgeng empat puluh tahun menikah," canda Bob.

Setelah pamit, aku menoleh ke arah mereka dari kejauhan. Raut wajah dan gerakan tangan Bob yang ekspresif membuat Sue tertawa. Meskipun diterpa angin sore yang kencang, aku merasa hatiku hangat berkat mereka. Aku penasaran membayangkan masihkah aku dan Adrian semesra itu saat menginjak usia mereka. Perjalanan baru dimulai, Tirza.

***

Akhir dari Episode 10.

"Solo To Glasgow" adalah buku ke-4 Shinta Yanirma (simak karya lainnya di yanirma.weebly.com/work).

Sekarang hanya tersedia di Wattpad!

Terbit setiap Sabtu/Minggu    

Solo To GlasgowWhere stories live. Discover now