Ep. 07 | Tirza | You Can't Get It All

120 7 0
                                    

(Foto oleh Brandon Wilson)

Tirza. Jumat, 25 September 2015.

"...terutama kampusnya Mas Adri, tua, antik, klasik kayak Hogwarts," lanjut Tisha.

Aku tersenyum. Pasti Tisha merujuk kepada foto saat aku menemani Adrian berkeliling kampus untuk pertama kalinya. Terang saja bangunan kampusnya bernuansa tua, sebagian universitasnya dibangun pada periode abad ke-15 hingga ke-18. Hanya West End dan sebagian City Centre yang memiliki bangunan klasik seperti itu. Konon, julukan "East End", diperuntukkan untuk pemukiman murah di pinggiran kota manapun di UK yang notabene kurang aman dan baru dibangun 2-3 dekade terakhir. (Semurah-murahnya, tetap saja harganya milyaran rupiah.)

Sehabis gibah seru bareng Tisha, flatku langsung terasa lengang. Bukan hanya ketiadaan suara manusia lain yang membuatku merasa hampa. Biasanya, jam segini di weekday, aku sedang bekerja. Walaupun kesibukan sehari-hari hanya menelepon mitra, mengirim e-mail, menagih pembayaran, merekap data di Excel, makan siang ngebakso sambil haha-hihi bersama staf lainnya... tetap saja namanya bekerja. Ada tempat tujuan setiap hari, ada rutinitas. Aku menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, sehingga hidup terasa lebih punya makna. Pekerjaanku mungkin tidak elit, tapi itu kulakukan tanpa putus sejak lulus sarjana. Yang memberiku hak berpendapat di depan Ibu, meskipun ia tetap punya hak veto di hidupku. Yang mengambil porsi penting dalam prosesku menjadi dewasa, baik disengaja maupun tidak.

"Bawa aku tur keliling flat kalian dong, Mbak," pinta Tisha.

Aku membawa ponsel berkeliling flat. Aku tertawa melihat Tisha sibuk berseru "wow" dan "wah". Orang waras mana pun akan berkata, hidupku sekarang jauh lebih baik. Menikahi bos, lalu dibawa hidup enak di luar negeri. Tapi, aku sempat berpikir, aku sebenarnya mundur satu langkah. Dulu, aku hidup untuk Ibu. Sekarang, aku hidup untuk Adrian. Di sisi lain, keduanya tak sama. Aku tak bisa memilih lahir dari rahim ibunda yang mana. Menikahi Adrian, kan, keputusanku sendiri (yang didukung penuh oleh Ibu). Konsekuensi menjadi istri, ya bertugas menopang suami.

You can't get it all. You've got to choose, and this is your choice. So, go celebrate. Besides, Adrian is worth it. Our marriage is worth it.

Sepertinya Adrian ditakdirkan panjang umur. Baru kupikirkan, sekarang ia melepas sepatu di pintu sambil mengucap salam masuk. Ia langsung menuju kulkas di dapur, mungkin mencari minuman dingin. Aku terdiam melihat wajahnya yang berangsur menunjukkan amarah. Kuamati sekelilingku, apa yang salah?

Ia menunjuk bahan makanan di kulkas. "Kamu masih belanja di supermarket murahan itu?"

Oh, tidak. Aku lupa Adrian tidak suka dengan dagingnya, yang menurutnya, terlalu berlemak. Ia juga anti farmed salmon. Adrian pernah menyuruhku belanja ke supermarket premium yang menjual wild salmon.

Belum lagi susunya! Lagi-lagi aku membeli susu sapi segar, bukan susu almond kesukaannya.

"Maaf, Mas. Aku lupa—"

Adrian membanting isi kulkas ke lantai dapur. "Berapa kali aku harus bilang, kalau aku nggak bisa makan ini, ini, dan ini?" Ia menunjuk bungkusan makanan itu satu-persatu. Aku mendengarkan ceramahnya sambil menunduk, tangan saling menggenggam di depan.

Sepuluh menit kemudian, suaranya melembut. Ia menggenggam bahuku, "Ingat, kamu itu istrinya Adrian Dinoto. Hatiku sakit kalau kamu masih beli makanan nggak berkualitas seperti itu. Mulai sekarang, pergi ke supermarket merek lain yang lebih bagus, oke?"

Aku mengangguk, lalu izin keluar untuk membuang bahan-bahan makanan tadi. Aku berjalan agak jauh menuju persimpangan yang biasa dihuni tunawisma dan menaruh bungkusan bahan makanan di sana. Here is some fresh food, please take it, tulisku.    

***

Akhir dari Episode 07.

"Solo To Glasgow" adalah buku ke-4 Shinta Yanirma (simak karya lainnya di yanirma.weebly.com/my-work).

Sekarang hanya tersedia di Wattpad!

Terbit setiap Sabtu dan Minggu

Solo To GlasgowWhere stories live. Discover now