Ep. 05 | Tirza | Bibit, Bebet, Bobot.

160 5 0
                                    


(Foto oleh Alex Boyd)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Foto oleh Alex Boyd)

Tirza. Sabtu, 14 Juli 2014.

Empat bulan berlalu tanpa terasa. Di sinilah aku, menginap di executive suite sebuah hotel bintang lima di Solo yang dipesankan Bu Titiek, bersama orang tua dan beberapa kerabat. Besok pagi, kalau tak ada aral melintang, statusku resmi jadi istri orang. Aku perlu membiasakan diri memanggil Bu Titiek dengan sebutan "Bunda", dan Pak Noto "Ayah", sebagaimana Adrian dan Raisa (adiknya) memanggilnya.

"Nduk," Ibu membuka pintu. "Bude sama Tantemu mau ajak ngobrol. Ada Oma juga."

Oma dan Ibu duduk mengapitku di ruang tengah. Bude Tutik, kakak Bapak, duduk di seberangku. Tante Tari, adik Bapak, duduk di sampingnya. Kakak tertua Bapak, Pakde Tirto, baru akan datang saat akad besok pagi dengan keluarganya.

Di antara semua keluarga Bapak, aku sudah lama sekali tidak bertemu dengan Bude Tutik. Terakhir kali barangkali saat aku masih SMA. Kami pun tak pernah mengobrol akrab, meskipun Bude Tutik punya anak perempuan yang hanya beberapa tahun lebih tua dariku dan Tisha. Yang jelas, Pakde Ahmad—suami Bude Tutik—jelas tidak akan datang. Ia sudah lama bed rest setelah kena stroke. Dengan Pakde Ahmad, aku bahkan tak ingat wajahnya seperti apa dan kapan kami terakhir bertemu. Kalaupun sehat, mungkin ia tetap tidak datang. Konon, Pakde Ahmad dan Bude Tutik sudah lama tinggal pisah rumah meskipun mereka tak (resmi) bercerai. Kalau ditanya, Bapak dan Ibu kompak mengelak, "Ya, pokoknya begitu, lah."

Tadinya, kupikir aku akan dengar penjelasan lengkapnya setelah aku dewasa. Tidak juga. Tetap ada hal-hal di keluarga besar Bapak yang penjelasannya mentok di, "Ya, pokoknya begitu, lah." Lisan manusia memang penuh keterbatasan. Atau, lebih tepatnya, lisan orang Jawa. Oh, ya, Ibu adalah anak tunggal. Jadi, hanya Oma yang datang malam ini dari pihaknya.

"Duh, ponakanku yang besok jadi manten. Ayu tenan," ledek Tante Tari.

Basa-basi berlanjut. Lalu, aku dinasehati A-Z tentang perkawinan. Tentunya, yang jadi acuan adalah nilai-nilai tradisional yang mungkin juga warisan dari zaman eyang dulu. Sampai tibalah kami pada pokok pembahasan yang sudah kutebak sejak awal. Status Adrian.

"Dulu, gara-gara apa dia cerai sama Putri, Dek?" tanya Bude Tutik ke Ibu.

"Karena merasa nggak cocok lagi. Putri yang menggugat," jawab Ibu.

"Padahal belum juga dua tahun nikah, ya."

"Yang sudah berlalu ya sudah, Mbak. Putri-nya juga kabarnya sekarang tinggal di Inggris," ujar Tante Tari.

Bude Tutik mengganti topik. "Dijaga baik-baik suaminya, Nduk. Beruntung banget lho kamu dapet anaknya Pak Suryo Dinoto. Siapa, coba, yang nggak kenal mereka di Solo. Sudah asalnya dari keluarga baik-baik, ganteng, pebisnis pula."

Solo To GlasgowWhere stories live. Discover now