Ep. 15 | Tirza | Satu Pertemuan Rahasia

120 6 0
                                    


(Foto oleh Matt Quinn)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Foto oleh Matt Quinn)

Tirza. Senin, 26 Oktober 2015.

I can't contain my excitement, yet I'm still hesitating like hell.

Tadi, aku keluar rumah dengan langkah tegap. Sekarang, aku ragu untuk melangkah masuk ke gedung yang sudah di depan mataku. Sejuta keraguan melintas di benakku. Oke, mungkin nggak sejuta. Tapi, cukup untuk membuatku mondar-mandir di depan pintu, berpikir apakah ini keputusan yang tepat.

Siang ini, Adrian sedang kuliah. Semenit lalu, aku sampai di depan pintu masuk gedung komunitas di Maryhill. Beberapa yayasan sosial bermarkas di sini, termasuk FTWC.

Aku merasa mengkhianati Adrian, yang dua minggu terakhir bersikap begitu baik kepadaku. Karena aku menyembunyikan ini darinya. Tapi, aku juga merasa bangga. Karena aku akhirnya melakukan hal yang benar-benar kuinginkan, tanpa memusingkan persetujuannya.

Okay, here's the news. Aku diundang wawancara kerja!

Kok bisa?

Aku menginginkan lowongan sebagai sukarelawan pengajar yang kulihat di website FTWC beberapa minggu lalu. Aku juga meragukan kemampuanku sendiri. Terakhir aku diwawancara yaitu dua tahun lalu saat melamar kerja ke dealer di Solo. Itu pun pakai bahasa Indonesia. Sudah berhari-hari aku mendebatkan hal ini dalam pikiran. Kupikir, kalau aku berani melangkah keluar rumah, maka aku akan dapat menghadapi sisa tantangannya dengan enteng. Aku salah. Menyelesaikan sama beratnya dengan memulai.

Perutku mulas. Padahal aku hanya minum segelas susu sejak pagi. Aku terlalu tegang untuk makan apapun.

Mari berpikir sekali lagi, Tirza. Kamu ingin ini atau tidak? Iya ya iya. Enggak ya enggak. Jangan plin-plan. 

But, again, you only live once. 

What's the harm, anyway? Kemungkinan terburuknya yaitu aku mempermalukan diri sendiri di depan satu-dua pewawancara bule yang tak akan pernah kutemui lagi.

Tekadku sudah bulat.

Aku menatap daun-daun berwarna oranye di ujung sepatuku. Sepasang sepatu oxford cokelat berhenti satu meter di depanku. 

Sepatu laki-laki. Kutunggu, namun sepasang sepatu itu tak kunjung berlalu.

"Have we met before?" tanya sang pemilik sepatu.

Apakah ini semacam ajakan mengobrol basa-basi? "Inisiatif" lelaki yang merasa perlu "menyapa" kalau melihat perempuan sendirian di tepi jalan? 

Aku teringat jalan kecil di samping kantor dealer yang sering kulewati kalau aku dan Maria dulu mau makan soto kwali saat istirahat siang. Sekelompok pemuda, yang kutebak pengangguran karena hampir selalu nangkring sambil merokok di trotoar, otomatis bersiul setiap melihat gadis lewat. Mau pakai jeans dan kaus, seragam kantor, atau jilbaban sekalipun, tetap saja digoda. Suatu saat, giliran aku lewat ditemani Bapak, barulah mereka bungkam. Pengecut, memang.

Lha, di Glasgow ada juga yang model begini?

Aku mendongak, membalas tatapannya dengan wajah segarang mungkin. Tapi, lelaki itu benar-benar terlihat penasaran, bukan cabul. Dan, aku merasa wajahnya tak asing.

"Apologise if I'm wrong... apa kita pernah ketemu di Bali?"

Seperti ada yang menjentikkan jari di dalam kepalaku. Aku ingat suku pertama namanya. Mulut bodohku berkata gagap. "D...da...?"

Daniel? Danang? Darto? Aku tak ingat.

"Darren," jawabnya sambil tersenyum.

**********

Akhir dari Episode 15.

"Solo To Glasgow" adalah buku ke-4 Shinta Yanirma (simak karya lainnya di yanirma.weebly.com/work).

Sekarang hanya tersedia di Wattpad!

Terbit setiap Sabtu/Minggu

Solo To GlasgowWhere stories live. Discover now